Sumber: Instagram @jokowi

Berbicara mengenai pemilu legislatif (pileg) di Indonesia tentunya merupakan bahasan yang masih panas bak gorengan yang baru saja diangkat dan ditiriskan dari wajan yang penuh dengan minyak panas, tentunya analogi ini saya rasa cocok untuk dikaitkan dengan apa yang terjadi pada pileg kita sekarang ini. Terlepas dari carut marut dan kejutan hasil pilpres yang ada mulai dari hadirnya isu penambahan periode presiden mejadi 3 periode, gugatan MK terkait perubahan sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup hingga gugatan MK terkait perubahan batas usia calon wakil presiden akhirnya dikabulkan secara kontroversial. Kali ini penulis ingin membagi opini tentang  hal yang agak sedikit luput dari bahasan kita sebagai mahasiswa fakultas hukum yaitu mengenai dampak dari sistem proporsional terbuka yang terjadi pada pemilu legislatif di tahun 2024 ini, semoga para pembaca berkenan menyimak dan mengambil manfaat dari membaca tulisan saya kali ini.

Sekitar satu tahun belakangan penulis mencoba melihat dan meneliti tentang dampak positif maupun negatif dari keberlakuan sistem proporsional terbuka dalam pileg yang ada sekarang. Jika membahas mengenai sejarah sistem proporsional terbuka yang terjadi sekarang, itu semua bermuara pada tahun 2009 yaitu Selama kemerdekaan Indonesia, pemilihan umum ke-12 telah diadakan sejak tahun 1955, dan tahun depan tercatat pemilihannya yang ke-13 dijadwalkan pada tahun 2024. Selama pemilihan, negara memperkenalkan berbagai sistem, termasuk proporsionalitas daftar tertutup, konstituensi, dan pemilihan terbuka. proporsionalitas daftar, yang baru-baru ini diterapkan pada sistem pemilu Indonesia pada pemilu 2019. Sistem pemilu berimbang di mana setiap daerah pemilihan memilih anggota parlemen pada setiap tingkatan adalah Representasi proporsional (beberapa daerah pemilihan). Dalam sistem ini, persentase kursi di badan legislatif dibagi antara masing-masing partai menurut porsi suaranya. (Moh. Kusnadi, 1988). Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan Nomor 22 dan 24/PUU-VI/2008 dengan mengabulkan permohonan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD. Keputusan tersebut mengubah sistem pemilu Indonesia menjadi sistem pemilu proporsional daftar publik dengan suara terbanyak. Putusan ini juga menimbulkan masalah karena Mahkamah Konstitusi tidak menentukan apakah suara terbanyak diartikan sebagai mayoritas atau mayoritas.

Dimensi perbedaan antara sistem proporsional terbuka dan tertutup:

Dimensi Proporsional Terbuka Proporsional Tertutup
Proses pemilihan Pemilih dapat memilih kandidat secara langsung ataupun partai politik Pemilih    hanya    dapat    memilih partai politik
Peluang Kandidat Nomor urut kandidat ditentukan oleh partai itu sendiri, tapi bukan jaminan terpilih Nomor    urut    ditentukan    oleh partai, pemilih tidak dapat mempengaruhi urutan dalam partai
Konversi Suara Kandidat terpilih adalah kandidat yang mendapatkan suara terbanyak di partainya Kandidat   yang   terpilih   berasal dari    partai    yang    mendapatkan suara  terbanyak,  dan  berdasarkan nomor urut
Perwakilan Politik Pemilih memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemilu dengan memiliki kandidat secara langsung Pemilih   tidak   memiliki   kontrol terhadap    seleksi    kandidat    dan nomor urut

Sumber: Jurnal Bawaslu Kepulauan Riau 2023

Pada awalnya sistem proporsional terbuka bertujuan untuk mengenalkan dan mendekatkan para caleg dengan masyarakat agar kesannya pemilu kita tidak terkesan seperti membeli “kucing dalam karung”, namun pada fakta lapangan yang terjadi apakah benar seperti demikian?, sebagai pembaca coba kalian renungkan saat pencoblosan kemarin apakah kita benar-benar kenal dengan nama caleg yang akan kita coblos mulai dari DPRD sampai DPR RI?, atau coba sebutkan 5 anggota DPR RI yang kita tahu namanya?, saya yakin keebanyakan dari kita tidak bisa menjawabnya.

Penulis melihat bahwa ongkos politik pada pemilu dengan sistem proporsional terbuka akan menghasilkan ongkos yang sangat mahal karena pertarungan politik yang dilaksanakan berada di level individu bukan pada pertarungan antara partai. Sebagai contohnya menurut data rilisan KPU pemilu kali ini diikuti oleh 9.917 calon anggota DPR (dataindonesia.id), sedangkan partai peserta pemilu hanya 24 partai saja. Yang mana ini harusnya ongkos politik akan lebih rendah jika pertarungan perebutan voters berada di level partai saja.

Menurut lansiran data laman dpr.go.id, DPR bersama pemerintah dan penyelenggara Pemilu pun telah menyepakati besaran dana pelaksanaan Pemilu 2024, yakni Rp76,6 triliun. Sedangkan pada pemilu langsung dengan metode proporsional tertutup terakhir tahun 2004 anggaran dana pemilu hanya bernilai 4, 5 triliun saja, yang mana perbandingan ini sangat terlihat jauh naik dengan hasil bentukan legislatif yang tetap seperti yang kita lihat sekarang. Apakah ada diantara kita yang puas dengan kinerja legislatif kita sekarang ini?, apakah nepotisme dan oligarki yang diharapkan bisa hilang dari sistem ini berkurang? Saya rasa sebagaian besar akan mengatakan tidak.

Kemudian berbicara mengenai pertanggungjawaban kinerja anggota legislatif nantinya jika tidak sesuai dengan kemauan masyarakat harusnya juga akan lebih terakomodir karena kita dapat meminta pertanggungjawaban kinerja langsung terhadap partai bukan seperti yang terjadi sekarang, ketika ada anggota dewan melakukan tindak tanduk yang dirasa merugikan maka partai tinggal mengatakan orang tersebut merupakan oknum dan tentunya orang tersebut juga adalah pilihan langsung dari kita bukan dari partai. Hal ini akan berbeda jika sistem pemilihan adalah memilih partai yaitu partai menjadi bertanggung jawab penuh dengan orang-orang yang ditaruh di kursi DPR, kita sebagai masyarakat dapat menuntut pertanggungjawaban kepada partai secara langsung. Risiko yang akan dihadapi oleh partai jika opini masyarakat buruk terhadap anggota dewan bukan lagi sekedar tidak terpilihnya orang tersebut di pemilu selanjutnya namun partailah yang akan kehilangan jumlah kursi di legislatif.

Menurut mirian budiarjo “Partai politik adalah suatu kelompok terorganisasi yang anggotanya memiliki orientasi, nilai dan cita-cita yang sama, serta memiliki tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional” artinya  parpol adalah wadah aspirasi ideologis bagi masyarakat untuk menetapkan wakilnya dihadapan pemerintah. Penulis merasa bahwa pemilu yang diadakan sekarang bukan lagi seperti adu ideologis antar politik karena yang dijual ke publik ialah nama-nama orang populer yang terkadang bukan berada pada kapasitas sebagai perwakilan rakyat namun kepopuleran tersebut dimanfaatkan parpol untuk mendulang suara.

Kembalinya sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka mungkin terdengar seperti kemunduran demokrasi tapi bukan esensi utama dari demokrasi adalah evaluasi, memaksakan sebuah sistem yang tidak cocok tentu bukanlah demokrasi.

Harapan akhir dari penulis adalah kembalinya koridor kita sebagai pemilih memilih sebuah parpol karena pertarungan ideology bukan pada pertarungan popularity.

Sumber Referensi:

Putri Rahayu, M., Tyesta ALW, L., & Herawati, R. (2017). SISTEM PROPORSIONAL DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF DI INDONESIA. Dalam DIPONEGORO LAW JOURNAL (Vol. 6, Nomor 2).

Riwanto, A. (2019). PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA TERBATAS PADA PEMILU LEGISLATIF 2019 DI KOTA SALATIGA. Dalam Res Publica (Vol. 3, Nomor 1).

Sarjana, P., Pendidikan Islam, M., Mahmud Yunus Batusangkar, U., & Barat, S. (t.t.). BULLET : Jurnal Multidisiplin Ilmu Mengenal Sistim Proporsional Terbuka Di Indonesia Menuju Pemilihan Umum Tahun 2024 Titony Tanjung. Dalam Tahun (Vol. 2, Nomor 1). https://journal.mediapublikasi.id/index.php/bullet

Tempo.co  https://gaya.tempo.co/read/1839110/5-kebiasaan-di-tempat-kerja-yang-menunjukkan-anda-sedang-depresi?tracking_page_direct

Youtube Total Politik Debat Panas! Proporsional Terbuka vs Proporsional Tertutup | Ruang Publik Part 1 https://youtu.be/vfWHTjAqq8s?si=hclr0l5pxaCVnGMB

Profil Penulis:

 

Akbar Setiawijaya merupakan Mahasiswa Semester VI Fakultas Hukum Universitas Lampung yang saat ini menjadi Pengurus Kajian di UKM-F Pusat Studi Bantuan Hukum Tahun 2024.

Tinggalkan Balasan