
Oleh : Erviana
Hukum diartikan sebagai tata aturan dalam sistem yang mengatur
mengenai perilaku menusia. Artinya, hukum tidak merujuk pada satu aturan
tunggal melainkan seperangkat aturan yang memiliki satu kesatuan, sehingga
dapat dipahami bahwa hukum merupakan suatu sistem. Konsekuensi dari
pernyataan ini ialah, tidak dimungkinkan kita untuk memahami hukum jika
hanya memperhatikan satu aturan saja. Selain berkaitan dengan aturan
tentang perilaku manusia, hukum juga memiliki keterkaitan dengan kondisi
tertentu yang mempengaruhi manusia dalam interaksi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan, apa yang boleh
dilakukan serta apa yang dilarang. Salah satu bidang dalam hukum adalah
hukum pidana yaitu mengatur tentang aturan perbuatan-perbuatan tertentu
yang dilarang. Sedangkan tindak pidana, merupakan perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum yang mana disertai ancaman (sanksi).
Salah satu tindak pidana yang kerap kali terjadi di Indonesia ialah tindak
pidana korupsi.
Di Indonesia, korupsi bahkan sudah tergolong sebagai
extra-ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Hal ini dikarenakan tindakan
korupsi tidak hanya merusak potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah
meluluhkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum
keamanan nasional. Dalam masyarakat, praktik korupsi ini dapat ditemukan
dalam berbagai modus operandi dan dapat dilakukan oleh siapa saja, dari
berbagai strata sosial dan ekonomi. Berdasarkan rekapitulasi Tindak Pidana
Korupsi (TPK) yang dilakukan oleh KPK, TPK dibagi ke dalam 5 (lima)
kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Instansi
2. Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Jenis Perkara
3. Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Profesi/Jabatan
4. Tindak Pidana Korupsi berdasarkan perkara inkrach
5. Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Wilayah
Rekapitulasi ini bertujuan sebagai laporan singkat kinerja KPK di ranah
penindakan. Adapun hasil rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi berdasarkan
Profesi/Jabatan pada tahun 2022 tercatat TPK yang dilakukan oleh anggota
DPR dan DPRD mencapai 35, kepala lembaga/kementrian 2, gubernur 1,
walikota/bupati dan wakil 15, eselon I,II,III,IV sebanyak 47, hakim 6, jaksa
1, polisi 1, pengacara 3, swasta 27, lain-lain 10, dan korporasi sebanyak 1.
Dengan demikian terhitung pada tahun 2022 secara keseluruhan TPK
mencapai 149 yangmana hal ini menunjukkan angka peningkatan dari tahun
sebelumnya yang hanya 114 TPK.
Dengan realitas yang ada, Pemerintah memberikan upaya untuk
mencegah maraknya tindak pidana korupsi melalui penguatan dalam proses
penegakan hukum yang salah satunya melalui pelaporan harta kekayaan
yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Kewajiban pelaporan harta
kekayaan atau disebut dengan laporan harta kekayaan penyelenggara negara
(LHKPN) yang dijadikan sebagai indikator adanya peningkatan kekayaan
secara tidak sah atau biasa dikenal dengan sebutan illicit encrichment.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi masih menyisakan celah hukum. Meskipun dewasa ini, KPK secara
maksimal melakukan tindakan pencegahan (preventif) dan penindakan
(represif), para pelaku korupsi masih saja dapat mengakali peraturan
perundang-undangan dan merugikan keuangan Negara untuk memperkaya
dirinya sendiri.
Pada tahun 2003 telah lahir sebuah Konvensi PBB yang
dimaksudkan untuk melawan korupsi yaitu United Nation Convention
Against Corruption (UNCAC) yang disahkan di Merida Mexico yangmana
Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatangani dan meratifikasi
UNCAC. Dalam UNCAC pengaturan mengenai Illicit Enrichment diatur
dalam Pasal 20. Kemudian perlu diketahui bahwa dewasa ini, dari 193
Negara yang ada di dunia, setidaknya sudah ada 44 negara yang memiliki
intrumen hukum setingkat UU tentang Illicit Enrichment. Negara dari 44
tersebut mengenakan sanksi kurungan atau penjara, seperti Cina, India,
Malaysia, Brunei, Makao, Bangladesh, dan Mesir.
Terjadinya Illicit enrichment dapat menimbulkan spekulasi bahwa
kekayaan yang dimiliki oleh pejabat negara diperoleh melalui cara-cara
yang tidak halal atau melawan hukum salah satunya melalui korupsi. Oleh
karena itu, kewajiban Negara Indonesia untuk melakukan penindakan tegas
harus diartikan sebagai kewajiban setingkat mandatory guna mengatur
mengenai Illicit enrichment menjadi suatu tindak pidana yang diatur ke
dalam suatu produk hukum setingkat Undang-undang. Pengaturan
mengenai Illicit enrichment diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan
LHKPN dan mengurangi intensitas peningkatan tindak pidana korupsi
sebagai refleksi dari semangat pemberantasan korupsi (crime control).
Sumber Referensi :
- Kelsen, Hans. (2012). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta:
Konstitusi Press. - Kurnia Palma, Alon dkk. (2014). Implementasi dan Pengaturan Illicit
Enrichment (Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Sah) di
Indonesia. Jakarta: Indonesia Corruption Watch. - https://www.kpk.go.id/id/ diakses pada Sabtu 01 April 2023, pukul 11.21
Profil Penulis :
Erviana merupakan Mahasiswi Semester VI Fakultas Hukum Universitas Lampung yang saat ini menjadi Pengurus Bidang Kajian 2023 UKM-F Pusat Studi Bantuan Hukum.