Gambar diambil dari : www.news.detik.com

Oleh : Bagas Pardana Siregar, S.H.

Meruahnya fenomena korupsi di Indonesia mempertegas kondisi darurat bangsa. Korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa extraordinary crime tidak hanya berkutat pada persoalan sistem, akan tetapi faktor budaya turut memberi sumbangsih dalam mendukung tumbuh suburnya praktik korupsi. Tidak berlebihan jika diawal kemerdekaan the founding father Ir. Soekarno memberi perhatian besar pada nation and character building, yang dewasa kini minim dijiwai oleh para penyelenggara negara.

Pemberitaan aktual disuguhkan dengan penetapan tersangka Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate atas dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan BTS 46 Bakti Kominfo. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan penetapan tersebut tepat pada hari Rabu (17/5/2023) dengan informasi hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP sebesar delapan triliun rupiah.

Terlepas daripada nuansa politis dalam pengungkapan kasus ini, terdapat satu hal yang dapat dikaji dalam rangka pencerdasan hukum bagi masyarakat, yaitu tentang lembaga negara manakah yang berwenang melakukan penyidikan atas kasus ini, apakah Kejagung atau KPK.

KPK didirikan pada awal reformasi sebagai sebuah jawaban atas keresahan masyarakat terhadap kurang efektifnya lembaga-lembaga penegak hukum yang ada pada saat itu, yakni kepolisian dan kejaksaan dalam hal pemberantasan korupsi. Sejak lahirnya KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan seiring berjalannya waktu kepercayaan publik kepada KPK kian positif. Banyaknya operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK seolah memvalidasi KPK sebagai lembaga negara yang terdepan dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Namun jika kita membahas tentang wewenang melakukan penyidikan, secara yuridis instansi kepolisian adalah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP. Dipertegas kembali pada Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian), menyatakan bahwa kepolisian bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan), tepatnya Pasal 30 ayat (1) huruf d juga menyatakan wewenang kejaksaan dalam hal melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Pada penjelasannya disebutkan secara eksplisit berwenang melakukan penyidikan pada perkara hak asasi manusia dan korupsi. Sehingga dapat dipahami bahwa kepolisian dan kejaksaan memiliki wewenang melakukan penyidikan terhadap perkara korupsi.

Hal menarik di kasus ini adalah kerugian keuangan negara ditaksir mencapai angka yang fantastis, yaitu delapan triliun rupiah. Beberapa kalangan masyarakat mengetahui pada umumnya perkara-perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara yang relatif besar ialah ditangani oleh KPK. UU No. 30 Tahun 2002 jo. UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) tegas menyatakan secara limitatif dalam kriteria kasus korupsi seperti apa yang menjadi kewenangan KPK melakukan penyidikan. Pasal 11 ayat (1) UU KPK menyebutkan diantaranya adalah tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar rupiah.

Memang pada prinsipnya ketiga lembaga negara ini (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) tidak terpisah secara kaku dalam melakukan pemberantasan korupsi, termasuk dalam hal melakukan penyidikan bahkan hingga agenda persidangan di pengadilan. Ketiga lembaga negara tersebut harus mampu menjaga harmonisasi antar lembaga negara dan melepaskan ego sektoral masing-masing lembaga.

Namun dalam kasus ini, secara terang benderang dapat kita pahami KPK lah yang memiliki wewenang lebih dalam melakukan penyidikan berdasarkan pada kriteria yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana penulis jabarkan diatas. Walaupun Kejagung lebih dahulu menemukan dan mengusut kasus ini, namun berdasarkan etika antar lembaga negara, maupun spesialisasi kriteria kasus korupsi, atau bahkan secara yuridis berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UU KPK, maka Kejagung wajib memberitahukan kepada KPK paling lambat empat belas hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Diperkuat lagi pada ayat (2) dari pasal ini pun menyatakan bahwa kejaksaan wajib berkoordinasi secara terus menerus kepada KPK hingga perkara berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

Menjadi pertanyaan hingga saat ini, kemana KPK ? Tidak terdengar luas pernyataan-pernyataan yang keluar dari juru bicara KPK seperti halnya pemberantasan-pemberantasan korupsi terdahulu. Apakah ini merupakan dampak bergesernya kedudukan KPK menjadi lembaga negara rumpun eksekutif pasca revisi UU KPK Tahun 2019 ? Ataukah dalam berjalannya kasus ini kedepan kita akan melihat koordinasi dan supervise yang baik antara Kejagung dan KPK ?

Penulis menyarankan agar masing-masing lembaga negara, baik Kejagung maupun KPK saling menjaga komitmen terhadap perjanjian kerjasama koordinasi dan supervise (korsup) yang sudah ditandangani pada Februari 2023 lalu, sehingga objektivitas penegakan hukum tercerminkan dalam penanganan kasus korupsi yang menimpa Plate.

 

Sumber Referensi :

  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
  3. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
  4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 jo. UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK

 

Profil Penulis :

Bagas Pardana Siregar, S.H. merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Lampung yang pernah mengabdi di UKM-F Pusat Studi Bantuan Hukum (2018-2021) dan pernah menjadi Ketua Umum UKM-F Pusat Studi Bantuan Hukum Tahun 2020.

Tinggalkan Balasan