Sebagai negara hukum, Indoensia memiliki kebebasan penuh untuk bertindak dan mengatur sendiri negaranya, salah satunya pembangunan nasional yang dilakukan baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Akan tetapi, dalam proses pembangunan yang selama ini berjalan, banyak sekali hambatan dalam praktik pembangunannya yaitu antara lain masih maraknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. Pada dasarnya korupsi merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat. Korupsi di Indonesia telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara. Kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Keinginan mayoritas publik untuk berperan dalam memberantas korupsi sangatlah tinggi, namun tergerus oleh suatu situasi ketiadaan perlindungan yang memadai ketika masyarakat aktif melaporkan kasus korupsi. Untuk mengakomodir hal tersebut Indonesia membentuk sebuah peraturan yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mana sekarang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014, serta dibentuknya sebuah lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) untuk menaungi dan melindungi para pelapor tindak pidana korupsi dari suatu hal yang tidak diinginkan. Lalu, perlindungan apasajakah yang didapat oleh pelapor pada tindak pidana korupsi apabila telah melaporkan adanya perbuatan tindak pidana korupsi?
Sebelum memasuki pokok bahasan terkait dengan perlindungan yang didapat terhadap pelapor tindak pidana korupsi perlu kita ketahui terkait apa itu pelapor tindak pidana korupsi (Whistleblower), Dalam perspektif terminologis, whistleblower dapat diartikan sebagai “peniup peluit”, selain itu ada pula yang menyebutnya sebagai “saksi pelapor”, “pengadu”, “pembocor rahasia” atau bahkan pengungkap fakta. Merujuk pada istilah dalam bahasa Inggris, whistleblower dapat diatikan sebagai seseorang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai adanya sebuah skandal, bahaya, malpraktik, atau korupsi. Whistleblower juga didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yaitu pelapor diartikan sebagai orang atau beberapa orang yang membuat suatu laporan mengenai suatu peristiwa.
Dalam hal ini perlindungan terkait pelapor tindak pidana korupsi (Whistleblower) itu sendiri terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 5 yang menyebutkan:
- Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
- Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
- Memberikan keterangan tanpa tekanan;
- Mendapat penerjemah;
- Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
- Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
- Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
- Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
- Dirahasiakan identitasnya;
- Mendapat identitas baru;
- Mendapat tempat kediaman sementara;
- Mendapat tempat kediaman baru;
- Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
- Mendapat nasihat hukum;
- Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau
- Mendapat pendampingan.
Berdasarkan uraian diatas telah jelas bahwasanya pelapor tindak pidana korupsi memiliki beberapa perlindungan atas apa yang telah ia lakukan yakni terkait pelaporan. Namun, dalam hal ini timbul sebuah pertanyaan, apakah pelapor tindak pidana memiliki kemungkinan akan terjerat kasus berupa pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh terlapor maupun pihak yang merasa dirugikan atas laporan yang diberikan pelapor?
Untuk menjawab hal tersebut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur terkait pertanyaan diatas pada Pasal 10 yang menyatakan bahwa:
- Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.
- Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hal tersebut dilakukan untuk menjamin kepastian hukum kepada pelapor bahwa kasus yang dilaporkan kepadanya dapat ditunda dulu. Walaupun dalam ketentuan menyatakan bahwa pelapor tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata atas kesaksian atau laporan yang ia berikan, hal tersebut tidak menganulir laporan tindak pidana yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, adanya ketentuan bahwa pelapor tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata tersebut tidak membuat ia kebal hukum. Menyikapi atas adanya laporan balik yang ditujukan kepada pelapor atau whistleblower yang memberikan laporan terkait tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum tidak bisa mencegah pihak manapun memberikan laporan terhadap pelapor yang berada dalam perlindungan, karena siapapun berhak untuk memberikan laporan hukum terhadap seseorang.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, pelapor tindak pidana korupsi memiliki sebuah perlindungan hukum yang telah diatur oleh negara Indonesia yang mana dalam hal ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Dasar Hukum :
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Profil Penulis
Krisna Riandru merupakan Mahasiswa semester VII yang saat ini menjadi Kepala Bidang Kominfo UKM-F PSBH FH Unila.