Oleh Wanda Irawan (Pengurus Bidang Kajian UKM-F PSBH FH Unila)
Dewasa ini perkembangan di dunia keuangan dan perdagangan semakin maju pesat seiring dengan majunya teknologi digital. Para pelaku moneter selalu mencari cara hari demi hari untuk mencakup keuntungan sebesar – besarnya dalam waktu yang relatif singkat. Masyarakat pun sudah mulai meninggalkan sedikit demi sedikit transaksi menggunakan uang kartal sebagai alat tukar untuk tersedianya barang dan jasa yang mereka butuhkan, karena dengan tingkat kejahatan seperti pencurian, pencopetan, dan penjambretan yang semakin luas masyarakatkan pun menjadi lebih merasa aman bertransaksi menggunakan uang giral .
Cek merupakan salah satu jenis dari uang kartal , cek digunakan sebagai metode pembayaran dalam nominal besar yang aman dan praktis penggunaannya dibandingan dengan kartu kredit. Karena di dalam cek tidak terdapat limit tertentu , batas limitnya adalah dihitung sama dengan jumlah dana/found yang terdapat pada rekening giro si penerbit cek . Sejalan dengan perkembangan giralisasi tersebut sering juga terdengar berita tentang selembar cek yang gagal dicairkan atau dibayar oleh bank atau disebut juga sebagai cek kosong . Yang dimaksud cek kosong adalah : ” Cek yang ditunjukkan pada bank tertarik ,tetapi dana penarik yang tersedia di bank tidak memnuhi sejumlah uang yang tertulis dalam cek yang ditariknya tersebut ”.
Sebagian orang mungkin tidak terlalu mengerti tentang akibat hukum cek kosong. Hanya saja cek kosong ini sering merugikan beberapa pihak. Cek sendiri diakui sebagai salah satu alat tukar atau alat pembayaran yang sah di Indonesia. Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (KUHD) mendefinisikan cek sebagai surat perintah membayar. Di dalam situs Bank Indonesia, Cek disebutkan sebagai surat perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah dana yang tercantum dalam cek.
Dalam Pasal 178 KUH Dagang ditentukan syarat untuk cek sebagai surat berharga, yakni
- harus terdapat perkataan “cek” dalam bahasa yang dipakai untuk merumuskan bunyi cek tersebut;
- surat cek harus berisi perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu;
- nama orang yang harus membayar (tertaik) harus selalu suatu bank;
- penunjukkan tempat pembayaran;
- penyebutan tanggal dan tempat penarikan cek;
- tanda tangan orang yang menarik cek.
Cek Kosong Dalam Hukum Pidana
Penerbitan cek kosong dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan, meskipun terlahir dari hubungan hukum perdata. Pasal 378 KUHP, yakni: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Dengan demikian untuk memastikan perbuatan menarik/menerbitkan cek kosong itu sebagai tindak pidana penipuan maka seorang tersangka dalam hal ini penarik/penerbit cek kosong harus memenuhi unsur – unsur penipuan dalam perbuatannya:
- Menggerakkan hati atau membujuk orang lain agar orang tersebut menyerahkan suatu barang, memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
- Maksud menggerakkan hati atau membujuk orang lain itu menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, atau rangkaian perkataan bohong.
- Tujuannya adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Dari unsur – unsur diatas, maka perbuatan penarikan cek kosong bisa dituntut sebagai tindak pidana penipuan. Disini harus dilihat bahwa penerbitan cek kosong tersebut merupakan sarana pemikat sehingga pembawa cek sebagai kreditur menjadi tergerak hatinya atau terbujuk hatinya untuk menyerahkan suatu barang dan seterusnya.Apalagi bila hal tersebut didahului atau diikuti dengan rangkaian tipu muslihat atau kebohongan. Maka disini dianggap telah terjadi penipuan berupa penarikan/penerbitan cek kosong yang digunakan sebagai alat pembayaran dalam suatu transaksi. Dengan demikian berarti penarik dalam memperoleh barang itu telah melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum.
Selain itu perbuatan penarikan cek kosong juga dimungkinkan dituntut sebagai tindak pidana berdasarkan pasal 379a KUHP, yakni: “barangsiapa membuat pencahariannya atau kebiasaannya membeli barang-barang dengan maksud supaya ia sendiri atau orang lain mendapat barang-barang itu dengan tidak melunaskan sama sekali pembayarannya, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Maka seorang penarik cek kosong dapat dituntut berdasarkan pasal tersebut diatas, haruslah memenuhi unsur – unsur sebagai berikut:
- Membeli barang – barang
- Maksud pembelian barang – barang itu tanpa pembayaran seluruhnya serta bermaksud menguasai barang – barang itu untuk dirinya sendiri atau orang lain.
- Perbuatan itu dilakukan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.
Cek Kosong Dalam Hukum Perdata
Pembawa cek yang ditolak pembayarannya karena tidak tersedia dana atau tidak mencukupi dana penarik pada bank maka ia dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri yang berwenang agar penarik/penerbit cek memenuhi pembayarannya dan sekaligus membayar biaya kerugian dan bunga karena penarik tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyediakan dana pada bank, sehingga ia dianggap wanprestasi seperti diatur dalam pasal 1243 KUHPerdata.
Dari isi Pasal 1243 KUHPerdata maka seseorang dapat dituntut atau digugat berdasarkan pasal tersebut apabila tergugat, dalam hal ini penarik tidak memenuhi suatu perikatan. Seperti diketahui bahwa timbulnya penarikan cek itu setelah adanya perikatan dasar antara penarik dan pembawa cek. Dengan demikian debitur yang menarik cek kosong dapat dikatakan bahwa ia tidak melaksanakan prestasinya kepada kreditur (wanprestasi). Karena pada dasarnya penarikan cek merupakan bentuk pelaksanaan prestasi yang berupa pembayarn dengan uang giral dari suatu transaksi yang sebelumnya melatar belakangi penarikan cek. Dengan diterbitkannya cek oleh penarik guna membayar transaksi yang dilakukannya, maka ia harus menyadari kewajibannya untuk menyediakan dana yang cukup pada bank, guna pembayaran cek tersebut.
Berdasarkan pasal 1243 KUHPerdata, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi, apabila sebelumnya kreditur lebih dulu memberi pernyataan lalai dalam bentuk tertulis kepada kreditur, yang berisi: apa yang dituntut, dasar tuntutan, batas waktu paling lambat pemenuhan prestasi. Keadaan lalai timbul apabila tenggang waktu dalam pernyataan lalai lampau tanpa ada pemenuhan prestasi dari debitur kepada kreditur.Lalainya debitur merupakan syarat untuk dikabulkannya gugatan ganti rugi.
Perbuatan penarikan cek kosong juga termasuk perbuatan melawan hukum, seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya meyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.Oleh karena itu pembawa cek sebagai pihak yang dirugikan dapat juga mengajukan gugatan terhadap penarik cek kosong ke pengadilan atas dasar pasal ini.
Apabila pihak yang dirugikan mengajukan gugatan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, ia harus membuktikan unsur – unsur dalam pasal ini, yaitu:
- Perbuatan penarikan cek itu adalah perbuatan melawan hukum artinya bertentangan dengan wajib hukum yang seharusnya ia lakukan, yaitu menyediakan dana yang cukup guna membayar cek tersebut.
- Menimbulkan kerugian, artinya dengan ditolaknya pembayaran cek itu, menghilangkan hak pembawa atas uang yang tercantum dalam cek tersebut.
- Penarikan cek kosong itu dilakukan dengan kesalahan, artinya sengaja dilakukan untuk merugikan orang lain. Arti kesalahan disini meliputi juga kelalaian meski tidak sengaja, tetapi tetap menimbulkan kerugian terhadap orang lain.
- Ada hubungan kausal antara kerugian yang timbul dengan perbuatan yang dilakuukan. Artinya hilangnya hak pembawa cek atas sejumlah uang justru karena perbuatan penarik yang menarik/menerbitkan cek kosong.
Referensi
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 56.
Sapto Rajardjo, Cek Dan Bilyet Giro Dalam Surat Berharga, Pustaka Utama, Bandung, 2006, hlm. 131
Serlika Aprita, Hukum Surat-Surat Berharga, Palembang: NoerFikri, 2021, hlm. 205
Sapto Rajardjo, Cek Dan Bilyet Giro Dalam Surat Berharga, Pustaka Utama, Bandung, 2006, hlm. 131
Ridwan Khairandy, Aspek Hukum Cek Kosong Dalam Tinjauan Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 66.
Peter Mahmud Marzuki, Perspektif Hukum Pidana: Cek Kosong, Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 34.
P.A.F. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 28.
Moelyatno, Hukum Pidana IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 31.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Wesel, Cek dan Askep di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2003, hlm. 99.
Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 1 – 2
H.R Daeng Nadja , Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm. 78.
Martiman, Perikatan Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 70.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat – Surat Berharga, Grafika Mediatama, Yogyakarta, 2006, hlm. 89.
Warsidi, Cek Kosong Dalam Praktiknya, Komexindo Press, Surabaya, 2006, hlm. 77
Profil Penulis :
Wanda Irawan merupakan Mahasiswa Semester V Fakultas Hukum Universitas Lampung yang saat ini tergabung dalam kepengurusan Bidang Kajian UKM-F PSBH FH Unila