Oleh: Tazkia Putri Sriwijaya Soedjadi

Salah satu permasalahan hukum yang sering beredar dimasyarakat adalah masalah hutang piutang. Masalah ini seringkali menimbulkan kerusuhan maupun keresahan dikalangan masyarakat. Dalam urusan hutang piutang  pihak debitur selalu menjadi pihak yang menarik perhatian dan empati publik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya  produk hukum yang dikeluarkan pemerintah  dengan tujuan untuk melindungi debitur. Salah satu produk hukum tersebut tertuang dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), yang berisi sebagai berikut: “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidak mampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang”.

Gambar diambil dari: lifepal.co.id

Namun , hingga kini tidak ada produk hukum yang benar-benar dapat melindungi kreditur. Adapun produk hukum (Undang-undang) yang mengatur perihal pelanggaran kewajiban pembayaran utang  adalah Pasal 1243 KUHPerdata. Mengenai wanprestasi,yang berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.  Jelas saja, undang-undang ini belum cukup untuk melindungi kreditur. Hal ini Nampak jelas dengan poin pemberian kewajiban ganti kerugian bagi debitur yang lalai dalam pembayaran hutangnya. Padahal secara logis jika kita telisik kembali, debitur saja lalai terhadap kewajibannya dalam membayar utang. Apalagi dengan menambah kewajiban lain padanya yakni membayar ganti kerugian. Maka besar indikasi debitur juga lalai terhadap kewajiban membayar ganti kerugian.

Alasan debitur selama ini lebih diperhatikan dan diberi simpati. Dikarenakan publik berasumsi bahwa debitur merupakan pihak yang lemah. Dengan embel-embel  terjepit masalah ekonomi, berasal dari masyaarakat kecil, hingga embel-embel  mereka (debitur) merupakan masyarakat yang minim pengetahuan. Hal tersebut menjadikan alasan mereka  untuk dilindungi dan dihujani sejuta simpati. Padahal, nyatanya seringkali  mereka memanfaatkan keadaan tersebut untuk sengaja melupakan dan melalaikan kewajibannya. Ataupun terkadang posisinya terbalik bahwa kreditur merupakan pihak yang berasal dari masyarakat kecil dan buta hukum sementara debitur merupakan pihak yang berasal dari kalangan atas.

Seperti kasus yang terjadi beberapa waktu lalu, di Prabumulih, Sumatra Selatan terjadi insiden penagihan utang oleh kreditur terhadap debitur yang berujung duka terhadap kreditur. Dalam hal ini kreditur merupakan masyarakat kelas menengah yang jenjang pendidikannya tidak sebanding dengan debitur. Sementara debitur merupakan masyarakat kelas atas dengan pendidikan magister ilmu hukum. Hari itu kreditur datang ke kediaman debitur untuk menagih utang yang dimiliki debitur. Lantaran debitur telah lalai dari kewajibannya membayar utang tersebut. Namun, yang terjadi debitur bukannya membayarkan utang yang dimilikinya tetapi malah marah-marah dan memancing emosi kreditur. Kreditur yang tidak dapat menahan emosinya lantas memberikan pukulan kepada debitur. Debitur yang tidak terima atas perlakuan tersebut memilih melakukan visum dan mengancan kreditur untuk menganggap lunas semua utangnya atau debitur akan melaporkan kepada pihak berwajib terkait pukulan yang dilayangkan kreditur kepadanya. Kreditur yang buta hukum dan merasa takut atas ancaman pelaporan tersebut lantas membuat perjanjian yang menganggap lunas semua utang dari debitur.

economy.okezone.com

Fakta lain, yang sempat viral dimedia sosial. Yang diupload oleh akun Instagram @terangmedia dan dikutip oleh Suara.com pada Sabtu, 23 april 2022. Dalam video tersebut terlihat seorang ibu yang “mengamuk” kepada petugas koperasi yang menagih hutangnya. Bahkan ibu tersebut terlihat mengacungkan botol kaca kearah petugas koperasi tersebut.

Dari kedua kasus ini, jelas bahwa bukan hanya debitur yang  membutuhkan payung hukum dan perlindungan oleh hukum tetapi juga kreditur. Kreditur juga tidak melulu menjadi pihak antagonis yang menyudutkan debitur. Faktanya, yang beberapa kali terjadi ketika ditagih mereka yang berstatus sebagai debitur acapkali bertindak lebih “galak” atau “menyeramkan” daripada kreditur. Beberapa dari mereka bahkan mengelak jika ditagih dan berdalih seolah-olah korban pengancaman. Sehingga kreditur seringkali menjadi pihak yang terpaksa harus menanggung duka. Lantaran tidak ada produk hukum yang benar-benar dapat melindungi kreditur.

Padahal Undang-undang Dasar Tahun 1945 menjamin mengenai perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Yakni tertera dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas, pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Namun yang terjadi saat ini, kreditur belum mendapatkan kepastian hukum yang adil. Tentunya dengan belum adanya kepastian hukum yang adil terhadap kreditur. Maka point “perlakuan yang sama dihadapan hukum” ini juga belum didapatkan oleh pihak kreditur. Jika hal ini diabaikan, maka prinsip asas Equality Before The Law yang bermakna setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah, tidak terpenuhi dalam pelaksanaan hukum di Negara kita.

Gambar diambil dari: akulaku.com

Sesungguhnya, masalah utang piutang seharusnya diawali dengan perjanjian. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian antara kreditur dan debitur. Dimana perjanjian tersebut menyebabkan  kreditur memegang hak jaminan khusus. Seperti perjanjian gadai, hipotik, fidusia dan hak tanggungan.  Agar nantinya apabila terjadi wanprsestasi kreditur dapat mengeksekusi langsung benda yang dijadikan jaminan khusus tersebut (pasal 1133 KUHPerdata). Namun, sayangnya tidak semua kreditur yang bertindak demikian, seringkali mereka menjadi pemegang hak jaminan umum yang mana jika terjadi wanprestasi mereka tidak dapat mengeksekusi langsung melainkan menunggu pembagian dengan kreditur lainnya dari hasil penjualan benda-benda milik debitur. Dan terkadang besar nominal uang yang dikembalikan tak sebanding dengan nominal uang yang dipinjam( Pasal 1132 KUHPerdata). Dimana hal ini terjadi karena kreditur memberikan pinjaman terhadap debitur tanpa adanya perjanjian mengenai hal itu. Kadangkala kreditur baru menyadari kurang tepatnya langkah yang ia ambil setelah kegiatan utang-piutang itu terjadi. Bahkan setelah merasa gerak-gerik debitur yang mulai susah untuk ditagih.  Apalagi jika seiring jalan debitur meninggal dunia, sementara jumlah hutangnya lebih besar dari pada harta yang ditinggalkannya Tapi apa daya tidak ada produk hukum yang dapat menjadi payung terbaik kreditur mengenai hal itu.

Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa harus diproduksi suatu produk hukum yang dapat benar-benar melindungi kreditur. Yang menjadi alat hukum untuk memberantas oknum-oknum debitur yang meresahkan seperti yang di jelaskan sebelumnya. Disamping itu agar masing-masing pihak baik kreditur maupun debitur tidak dirugikan dengan ketentuan hukum. Maka masing-masing pihak harus memahami ketentuan hukum itu sendiri. Sehingga baik kreditur maupun debitur dapat bersikap dan bertindak bijak dalam menghadapi masalah utang- piutang . Bahkan dapat menanggulangi sebelum masalah tersebut muncul. Sesuai dengan adagium hukum “IGNORANTIA EXCUSATUR NON JURIS SED  FACTI” (Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum)

 

Dasar Hukum

  • Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
  • Pasal 1243 KUHPerdata
  • dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945
  • pasal 1133 KUHPerdata
  • Pasal 1132 KUHPerdata

Referensi

 

Profil Penulis:

Tazkia Putri Sriwijaya Soedjadi merupakan Mahasiswi Fakultas Hukum Semester III Universitas Lampung yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH.

Tinggalkan Balasan