Oleh: Nuscha Natasha Danya

Kementerian Komunikasi dan Informatika yang kemudian disingkat menjadi Kemkominfo telah menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informarika Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Teknologi Lingkup Privat pada tanggal 16 November 2020 yang mulai berlaku per tanggal 24 November 2020. Penyelenggara Sistem Elektronik diartikan sebagai setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Di sisi lain, Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang selanjutnya disebut dengan PSE Lingkup Privat adalah penyelenggaraan Sistem Elektronik oleh orang, badan usaha, dan masyarakat.

Melalui Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2022 yang diubah dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengharuskan para Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat baik PSE domestik maupun asing untuk melakukan pendaftaran ke pemerintahan Indonesia paling lambat sampai 20 Juli 2022. Bukan tanpa alasan, Kominfo mengatakan bahwa hal ini dilakukan demi menjaga keamanan di ruang digital masyarakat Indonesia yang tidak terbatas. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa terdapat tiga manfaat dari pendaftaran PSE ini yakni tertib administrasi, perlindungan pengguna, dan penguatan sinergi. Perlindungan ini dapat dilihat pada Pasal 9 Ayat (3) yang mewajibkan para PSE untuk memastikan bahwa sistem elektroniknya tidak memuat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang dan tidak memfasilitasi penyebarluasan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang. Kemudian, pada Pasal 4 Ayat (3) dijelaskan bahwa dokumen elektronik yang dilarang memiliki tiga klasifikasi, di antaranya adalah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, dan memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang. Selain itu, usaha yang dilakukan kominfo untuk menjaga keamanan ruang digital terwujud dalam Pasal 21 Ayat (1) dan Ayat (2) yang mengatakan bahwa PSE wajib memberikan akses dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum. Namun, ternyata kebijakan dari Kominfo ini menimbulkan reaksi yang bertentangan di masyarakat.

Gambar diambil dari: Lk2fhui.law.ui.ac.id

Pasal-pasal yang dirasa dapat melindungi masyarakat, ternyata berpotensi menimbulkan adanya  multitafsir karena penggunaan frasa yang ambigu. Pasal 4 Ayat (3) menyatakan bahwa dokumen yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum merupakan salah satu klasifikasi dokumen yang dilarang untuk disebarluaskan menurut Permen ini. Meskipun demikian, Pemerintah tidak menjabarkan secara terperinci mengenai tolak ukur dan indikator sebuah informasi dapat dikatakan sebagai informasi yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, sedangkan frasa ini jelas akan mengakibatkan multi interprestasi antara Pemerintah dan masyarakat. Hal ini yang jika ditelusuri lebih dalam nantinya akan berdampak pada kebebasan masyarakat untuk beropini di depan publik, padahal termuat dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) yang menyatakan,

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Selain itu, kebijakan mengenai pemberian akses terhadap sistem elektronik dan/atau data elektronik dirasa menjadi suatu bentuk pelanggaran terhadap hak privasi yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia atau hak paling mendasar bagi seorang manusia. Alan Westin (1967) mendefinisikan hak atas privasi sebagai klaim dari individu, kelompok, atau lembaga untuk menentukan sendiri mengenai kapan, bagaimana, dan sampai sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain. Sementara itu, Permen ini memungkinkan aparat untuk meminta data pengguna dengan dalih mendesak tanpa persetujuan pengadilan dan Pemerintah dapat meminta PSE untuk takedown konten jika dirasa mendesak. Ketidakjelasan tolak ukur mengenai dokumen yang dilarang ditambah dengan kekuasaan untuk mendapatkan akses ke dalam sistem elektronik dapat menimbulkan kesempatan timbulnya pelanggaran. Sebagai contoh adalah UU ITE yang digunakan oleh mereka yang memiliki kuasa untuk meredam kritik. Di tengah berbagai pro dan kontra yang terjadi, per tanggal 2 Agustus 2022, terlihat pada situs resmi Kominfo bahwa setidaknya sudah ada 9.250 PSE domestik maupun asing yang telah mendaftar.

 

Referensi:

  1. Firdaus, F. (2022). Problematika Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020. IJTIHAD, 38(1), 27-36.
  2. Rahardjo, R. D., & Afifah, W. (2022). Kesesuaian Permenkominfo Nomor 05 Tahun 2020 Dengan Prinsip Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Dalam Hak Asasi Manusia. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 2(2), 472-486.
  3. (2022, Juni 24). Stop Registrasi PSE Lingkup Privat dan Tarik Kembali Permenkominfo yang Mengancam Kebebasan Berekspresi dan Hak Atas Privasi Pengguna. Diakses pada 29 Juli 2022, dari https://id.safenet.or.id/2022/06/siaran-pers-stop-registrasi-pse-lingkup-privat-dan-tarik-kembali-permenkominfo-yang-mengancam-kebebasan-berekspresi-dan-hak-atas-privasi-pengguna/
  4. The Conversation. (2022, Juli 22). Potensi pelanggaran privasi dan HAM di balik kewajiban perusahaan digital mendaftarkan diri ke Kominfo. Diakses pada 30 Juli 2022, dari https://theconversation.com/potensi-pelanggaran-privasi-dan-ham-di-balik-kewajiban-perusahaan-digital-mendaftarkan-diri-ke-kominfo-187525

Profil Penulis:

Nuscha Natasha Danya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung semester V yang saat ini menjadi Pengurus UKM-F PSBH.

 

Tinggalkan Balasan