Gambar diambil dari: Tribunnews.com

Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaian dengan jalan damai yaitu dengan musyawarah, jika belum ada kesepakatan dan merasa tidak dapat melanjutkan keutuhan rumah tangga, maka barulah kedua belah pihak dapat membawa permasalahan ini ke dalam pengadilan untuk mencari jalan keluar yang baik. Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan suami istri yang berniat bercerai dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan jalan musyawarah memakai penegak yaitu hakim, untuk orang yang beragama islam akan pergi ke Pengadilan Agama dan untuk orang yang beragama selain Islam akan pergi ke Pengadilan Negeri.

Dalam menghadapi perceraian, perempuan masih memiliki hak yang masih melekat pada dirinya terhadap suaminya. Hak itu antara lain hak pemeliharaan dan pengasuhan anak, hak atas harta bersama, dan tentunya hak atas nafkah bagi dirinya dan anak-anaknya. Namun pada kenyataannya, banyak perempuan yang bercerai tidak mendapatkan nafkah pasca perceraian. Sering kali kita temukan kondisi dimana suami sebagai kepala rumah tangga tidak menafkahi istri dan anak-anaknya, atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Istri dalam keadaan seperti itu, seringkali sang istri mengajukan permohonan cerai karena menganggap sang suami tidak bertanggung jawab dan tidak bersikap baik terhadap dirinya.

Kewajiban suami setelah perceraian berdasarkan Pasal 45 UU Perkawinan, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Hal ini berlaku hingga anak tersebut dapat berdiri sendiri dan kewajiban orang tua tersebut terus berlaku walaupun kedua orang tua telah bercerai. Melihat ketentuan tersebut, hal ini berarti apabila setelah ada perceraian pun kewajiban untuk memelihara anak (termasuk dengan memberikan nafkah) tetap harus dilaksanakan, maka selama proses perceraian pun tentu saja Ayah tetap mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah. Istri juga mempunyai hak untuk tetap dinafkahi oleh suami selama proses perceraian, ini karena berdasarkan Pasal 34 UU Perkawinan, mengatakan bahwa suami wajib untuk melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuan suami. Apabila suami melalaikan kewajibannya, istri dapat menggugat suami ke pengadilan. Bahkan setelah bercerai pun, pengadilan dapat mewajibkan kepada suami sebagai mantan suami. Kewajiban mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan bagi mantan istri seperti yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Kewajiban mantan suami memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya diatur dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan yaitu: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa kewajiban mantan suami menafkahi mantan istri itu ditentukan oleh pengadilan. Hal ini bergantung pertimbangan hakim. Lebih khusus lagi, dalam Islam diatur bahwa bila perkawinan putus karena talak atau karena kehendak suami, maka bekas suami wajib memberi nafkah dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah. Kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in talak yang tidak bisa rujuk sebelum istri menikah dengan orang lain terlebih dulu atau nusyuz istri karena durhaka kepada suami dan dalam keadaan tidak hamil. Ini artinya, jika memang perceraian karena kehendak istri, hakim dapat saja memutus untuk tidak mewajibkan suami memberi nafkah kepada bekas istrinya. Namun ada juga beberapa jurisprudensi menghukum mantan suami untuk menafkahi istri pasca perceraian walaupun perceraian itu merupakan kehendak istri. Nafkah merupakan suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang atau pihak yang berhak menerimanya. Nafkah utama yang diberikan itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan, yakni makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Nafkah sudah menjadi ketetapan Allah SWT atas para suami, dimana seorang suami memberi nafkah kepada istrinya meskipun telah bercerai dan masih dalam masa iddah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa nafkah yang diwajibkan bagi suami antara lain untuk pemeliharaan dan pendidikan seorang anak di bawah umur. Pemeliharaan tersebut harus ditentukan menurut perbandingan kebutuhan pihak yang berhak atas pemeliharaan itu, disesuaikan dengan pendapatan dan kemampuan pihak yang wajib membayar. Bila suami atau istri yang melakukan perceraian tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka Pengadilan Negeri akan menetapkan pembayaran tunjangan hidup baginya dan harta pihak yang lain. Walaupun sebuah perkawinan putus karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya. Dalam hal ini, pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang Perkawinan. Apabila pengadilan telah mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya namun ia menolaknya, maka hal itu merupakan bentuk pembangkangan atas putusan pengadilan. Terkait hal ini, Pasal 196 HIR menyebutkan bahwa: “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selamalamanya delapan hari.” Jadi, apabila mantan suami tidak mau menjalankan putusan Pengadilan Agama, maka langkah yang dapat dilakukan adalah mantan istri mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Agama tersebut agar Ketua Pengadilan memanggil dan memperingatkan mantan suami agar memenuhi isi putusan tersebut dan bukan dengan somasi. Karena berdasarkan Pasal 195 HIR, pelaksanaan putusan di pengadilan tingkat pertama adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan yang dalam prakteknya dijalankan oleh panitera.

 

Referensi :

  • Barzah Latupono.2021.Kajian Yuridis Tentang Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Mantan Istrinya Pasca Perceraian.Bacarita Law Journal.
  • Nasriah,Dachran S.Busthami,Hamza Baharuddin.2021.Perlindungan Hukum Hak-Hak Istri Pasca Perceraian.JOURNAL OF PHILOSOPHY.
  • C Muliawan, RA Martinouva.2020.Analisis Yuridis Tanggungjawab Suami Terhadap Mantan Istri Dan Anak Setelah Bercerai (Putusan Pengadilan Agama Kelas II Menggala Nomor 290/PDT.G/2011/PA.TB).Jurnal Pro Justitia (JPJ).
  • Fatimah,Rabiatul Adawiah,M Rifqi.2014.Pemenuhan Hak Istri Dan Anak Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Kasus di Pengadulan Agama Banjarmasin).Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan:Volume 4, Nomor 7.
  • 2019.Implementasi Kewajiban Suami Dalam Memenuhi Hak Mantan Istri Akibat Cerai Talak.SAKINA:Journal of Family Studies.Volume 3 Issue 4.

Profil Penulis :

Ni Luh Nita Sari merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung semester IV yang saat ini menjadi bagian dari pengurus Bidang Kajian 2022.

Tinggalkan Balasan