Pengguguran kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berakhirnya kehamilan dengan dikeluarkannya janin (fetus) atau embrio sebelum memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di luar rahim, sehingga mengakibatkan kematiannya.
Di Indonesia saat ini kasus aborsi sudah tidak asing didengar, bahkan baru-baru ini Polda Metro Jaya menggerebek praktik aborsi ilegal di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat, Rabu (9/9/2020) lalu.
Terbongkarnya kasus ini memperlihatkan maraknya praktik aborsi ilegal di berbagai daerah Indonesia termasuk Jakarta. Salah satu alasan wanita melakukan tindakan aborsi tersebut adalah karena kehamilan yang tidak diinginkan, biasanya banyak pada kasus remaja yang melakukan sex bebas namun tidak mengerti dan tidak siap atas kemungkinan yang akan terjadi sehingga memilih jalan pintas untuk menggugurkan kandunganya.
Lalu bagaimana penerapan hukum terhadap narasi ilegal?
Mengenai aborsi, sebenarnya telah diatur terlebih dahulu dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 77 UU 36/2009 yang pada intinya, setiap orang dilarang melakukan aborsi dan kebolehannya pun hanya berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (lihat Pasal 75 ayat (1) dan (2) UU 36/2009).
Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (lihat Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan).

Selain itu, tindakan aborsi hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (lihat Pasal 75 ayat (3) UU 36/2009).
Sedangkan yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan tersebut adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu (lihatPenjelasan Pasal 75 ayat (3) UU 36/2009).
Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan, dianggap sebagai aborsi ilegal.
Lalu apa sanksi pidana bagi para pelaku aborsi ilegal?
Menurut Pasal 194 UU Kesehatan, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar”.
Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya. Selain itu, ada juga sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal seperti diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
referensi:
- wikipedia.com
- hukumonline.com
- kompasiana.com
- tribunnews.com
Profil Penulis:
Yohanes Chrisnayanto adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH FH UNILA 2020.