Pada tanggal 13 Maret 2020 pemerintah negara Indonesia telah menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional yang diumumkan oleh Presiden melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Penetapan tersebut dinyatakan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran CORONA VIRUS DESEASE 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
Dengan ditetapkannya COVID-19 sebagai bencana nasional, banyak sektor yang terhambat pergerakannya, termasuk sektor transportasi umum. Untuk merespon isu tersebut, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 telah menerbitkan Surat Edaran No. 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman COVID-19 yang berlaku efektif mulai tanggal 6 Juni 2020.
Ditetapkan bahwa syarat harus dipenuhi untuk melakukan pejalanan melalui transportasi udara adalah menunjukkan kartu identitas yang sah, menunjukkan surat keterangan negatif COVID-19 yang berlaku 3 haru pada saat keberangkata dan menunjukkan surat keterangan bebas gejala seperti influenza yang dikeluarkan oleh dokter bagi daerah yang tidak memiliki fasilitas tes PCR dan/atau Rapid Test.
Tetapi bagaimana jika ada yang memalsukan surat keterangan saat hendak berpergian?
Berdasarkan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pemalsuan Surat menyatakan bahwa:
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebesan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Dari pasal tersebut, apabila seseorang dengan sengaja menggunakan surat keterangan yang palsu yang diperuntukkan sebagai bukti bebas COVID-19 dan memiliki hak perjalanan melalui pesawat, dapat menimbulkan kerugian materil maupun non-materil, dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun. Kerugian yang dapat timbul dari sengaja menggunakan surat keterangan bebas COVID-19 adalah kerugian non-materil yaitu kesehatan banyak orang.
World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia telah menyebutkan bahwa Virus Corona dapat menyebar melalui udara. Dengan demikian, apabila seseorang yang tidak diketahui bebas atau tidaknya dari penyakit COVID-19 dan berdiam dalam ruangan tertutup seperti di pesawat, maka sudah jelas orang-orang yang berdiam ditempat yang sama maka resiko tertularnya akan semakin tinggi.
Selain itu memalsukan surat keterangan dokter juga diatur dalam Pasal 268 KUHP yang berisikan:
(1) Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsukan surat keterangan dokter tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan maksud yang sama memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang palsu, seolah-olah itu benar dan tidak palsu.
Pasal tersebut sudah menunjukkan secara jelas bahwasannya apabisa seseorang menggunakan surat keterangan dokter palsu untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Penguasa umum yang dimaksud dalam kasus ini adalah petugas yang mengecek segala surat-surat yang diperlukan pada saat pandemi ini untuk berpergian terutama menggunakan pesawat.
Sedangkan apabila seorang dokter yang memberikan surat keterangan palsu diatur dalam Pasal 267 KUHP:
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keternagan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Sengaja yang dimaksud pada pasal ini adalah secara sadar tanpa paksaan ataupun dibawah tekanan untuk membuat surat keterangan palsu tentang kondisi kesehatan seseorang, maka dokter tersebut diancam penjara paling lama selama empat tahun.
Dalam kondisi seperti ini, sudah seharusnya masyarakat saling memahami dan saling membantu agar COVID-19 cepat berlalu. Segala kebijakan pemerintah pada akhirnya dibuat untuk melindungi masyarakat sehingga dapat kembali seperti sedia kala. Jika keluar rumah apalagi berpergian menggunakan transportasi umum bukan merupakan hal yang urgensi, masyarakat sudah dihimbau oleh pemerintah untuk tetap tinggal di rumah dan melakukan segala aktifitas di rumah.
Kecanggihan teknologi yang sangat mudah diakses, seharusnya bukan menjadi penghalang untuk measyarakat untuk tetap produktif. Kecanggihan teknologi sudah seharusnya dihindari dari malfungsi seperti pembuatan surat keterangan palsu.
Referensi:
Profil Penulis:
Resma Dwi Heldiyanti merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung Semester 5, yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH FH UNILA 2020.