Menelaah Dalih Force Majeur Sebagai Alasan Untuk Membatalkan Kontrak Di Tengah Pandemi Covid-19

0
284

Perkembangan wabah Covid-19 yang semakin meningkat, berimbas pada
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu yang terlihat adalah pada aspek
ekonomi. Bertambahnya status darurat Covid-19 membuat Presiden Joko Widodo
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan
Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai
Bencana Nasional. Selain itu, dibentuk juga Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun
2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Adanya seruan “Social
Distancing” dan “Stay At Home” mengharuskan seluruh masyarakat untuk
bekerja di rumah yang akhirnya berdampak pada penutupan operasional
perusahaan akibat larangan beroperasi pada masa Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB). Kebijakan tersebut membuat bisnis terganggu, banyak perusahaan
atau orang yang mengalami kendala dalam pemenuhan janji atas kontrak yang
telah dibuat. Dalam hal ini, terdapat spekulasi publik yang menganggap Keppres
No. 12 Tahun 2020 dapat dijadikan dalih force majeur untuk tidak melaksanakan
kontrak. Lalu timbul pertanyaan, apakah wabah Covid-19 ini mutlak dapat
dijadikan sebagai alasan force majeur untuk tidak melaksanakan kontrak?

Force majeur adalah suatu keadaan di luar dugaan manusia yang menyebabkan
debitur terbebas dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang
dikemukakan oleh pihak kreditur. Terdapat pasal yang sering digunakan sebagai
dasar dalam penentuan force majeur, yaitu Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH
Perdata, yang berbunyi :
Pasal 1244 KUH Perdata : “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya,
kerugian dan bunga. Bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak
dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan
perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat
dapat dipertanggungjawabkan”.
Pasal 1245 KUH Perdata : “Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan
bunga. Bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara
kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang baginya”.
Gambar diambil dari jurnalinspirasi.co.id

Dalam hal ini, virus Covid-19 adalah suatu kejadian yang tidak terduga dan telah
ditetapkan sebagai bencana non-alam. Namun, tidak serta merta menjadikannya
alasan untuk membatalkan kontrak dengan dalih force majeur. Setidaknya, para
pihak perlu mencantumkan klausul force majeur dalam kontraknya serta akibat
dari force majeur itu sendiri, seperti menunda perjanjian atau membatalkan
perjanjian. Kita juga harus mengetahui terlebih dahulu apakah wabah Covid-19
ini termasuk ke dalam force majeur absolut atau force majeur relatif. Berdasarkan
teori, force majeur absolut artinya pemenuhan prestasi seluruhnya tidak dapat
dilaksanakan oleh siapapun, misalnya musnahnya bangunan karena adanya
bencana alam, sehingga berakibat pada batalnya perjanjian. Sedangkan, force
majeur relatif artinya perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan, namun
dengan alternatif lain seperti kompensasi dan penundaan, misalnya terhambatnya
pengiriman barang karena sarana transportasi yang digunakan mengalami
kecelakaan. Penulis melihat bahwa wabah Covid-19 ini bersifat sementara dan
seiring berjalannya waktu pandemi ini akan berakhir, artinya termasuk ke dalam
force majeur relatif. Penulis mencontohkan, apabila prestasi dari suatu perjanjian
adalah membayar hutang, maka peristiwa lockdown atau PSBB yang diterapkan
pemerintah tidak serta merta menggugurkan kewajiban debitur untuk membayar
hutang, karena debitur dapat mentransfer uangnya melalui mesin ATM atau
Mobile Banking. Jika prestasinya berupa kewajiban melakukan sesuatu yang
bersifat pribadi (tidak dapat digantikan dengan orang lain), misalnya mengikuti
lomba nasional di luar kota atau menyanyi dalam suatu konser, maka orang
tersebut dapat dibebaskan dari pelaksanaan kewajibannya dengan alternatif lain
dapat menunda acaranya di lain waktu. Artinya, di situasi darurat wabah Covid-19
saat ini kita masih bisa memenuhi prestasi dari perjanjian yang telah dibuat.
Karena, hambatan yang terjadi hanya bersifat sementara, sehingga tidak langsung
menyebabkan perjanjian batal, melainkan dapat ditangguhkan waktu
pelaksanaannya sampai situasinya sudah cukup membaik.

Dapat dilihat juga dalam putusan MA pada tingkat kasasi dengan Putusan No.
3087K/Pdt/2001 terkait alasan krisis moneter yang diklasifikasikan sebagai force
majeur. Bermula saat seorang warga Jakarta Utara menggugat PT Jawa Barat
Indah sebagai Developer untuk pengikatan jual beli rumah susun. Penggugat
diketahui telah membayar lunas kewajibannya, tetapi tergugat tidak segera
menyerahkan satuan rumah susun yang dijual. Terhambatnya pemenuhan prestasi
itu, didalihkan tergugat karena terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia
saat itu. Tergugat beralasan bahwa krisis moneter merupakan force majeur yang
tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Alasan force majeur yang digunakan oleh
tergugat tersebut akhirnya ditolak oleh hakim tingkat pertama dan dikuatkan
hingga dijatuhkannya putusan kasasi No. 3087K/Pdt/2001 tersebut. Dari putusan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesulitan ekonomi digolongkan ke dalam force
majeur relatif, artinya masih dimungkinkan terlaksananya pemenuhan prestasi.
consumer choice center

Dalam kondisi ini, penulis sedikit menyinggung mengenai doktrin rebus sic
stantibus yang intinya jika memang kondisinya berubah, maka perjanjian itu tidak
lagi menjadi sah. Sekilas doktrin ini mirip seperti force majeur, namun menurut
Prof. Azis T. Saliba (2001) yang sudah penulis rangkum bahwa keduanya
memiliki perbedaan. Force majeur tidak mutlak disebabkan karena kendala
ekonomi, melainkan lebih kepada kendala fisik seperti bencana alam, misalnya
jalur transportasi terganggu dan barang tidak dapat diantar tepat waktu.
Sedangkan, rebus sic stantibus membolehkan menggunakan alasan kendala
ekonomi sebagai dasar untuk menghindari kewajiban memenuhi prestasi. Karena,
Indonesia belum secara formal mengadopsi doktrin ini, maka dapat digunakan
asas iktikad baik yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

Dengan demikian, dalih force majeur tidak bisa digunakan sembarangan untuk
dijadikan alasan membatalkan kontrak. Pihak yang mengklaim force majeur harus
membuktikan bahwa pandemi Covid-19 ini termasuk force majeur yang
diakomodasi dalam perjanjian sesuai dengan dasar hukum yang tepat. Kita harus
menelaah perjanjian yang sedang berlaku dan mengidentifikasi mengenai aturan
terkait force majeur dalam perjanjian tersebut. Terlebih lagi di situasi pandemi
saat ini dibutuhkan iktikad baik dari kedua belah pihak untuk melakukan segala
upaya yang dapat menghasilkan win-win solution. Para pihak dapat melakukan
renegosiasi kontrak, baik dalam bentuk rescheduling, restructuring ataupun
reconditioning. Nantinya hasil renegosiasi tersebut dapat dicantumkan dalam
addendum kontrak. Dalam melakukan renegosiasi kontrak, para pihak sebaiknya
lebih mengutamakan penyelesaian secara musyarawah dibandingkan dengan
penyelesaian melalui litigasi.

Sumber :
 KUH Perdata
 Keppres No. 12 Tahun 2020
 PP No. 21 Tahun 2020
 Hukumonline.com
 Businesslaw.binus.ac.id
 Wartaekonomi.co.id
 Djkn.kemenkeu.go.id

Profil Penulis :
Adinda Salsadela, merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung semester 5, yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH FH UNILA 2020.

Tinggalkan Balasan