Oleh: Yoel Hatigoran G.S,Mahasiswa Fakultas Hukum Semester IV, Pengurus Bidang Kajian 2020/2021
Sekarang tempat berbicara dan berpendapat pun dibantai dengan sejumlah Buzzer diatas kepentingan tertentu/stakeholder. Dan lebih gila-nya yang dikritisi adalah ketidakadilan terhadap orang lain tetapi Para Buzzer membuat Lelucon dengan marah-marah dan tuduhan yang sangat ekstrim dan radikal. Dimulai kasus penyiriman air keras pada mantan penyidik KPK yaitu Novel Baswedan, dalam proses persidangan bahwa Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan ancaman satu tahun dan perbuatan terdakwa tidak masuk dalam kategori kesengajaan.

Penuntut Umum hanya menuntut Terdakwa dengan satu tahun penjara, yang menyiram air keras dengan tidak sengaja sungguh tidak masuk akal. Membuat kritik-kritik di masyarakat yang peduli dengan kasus ini, menunggu kepastian kasus ini selama 3 tahun lebih. Tetapi Pemberi Harapan Palsunya adalah Jaksa Penuntut Umum sebagai dominus litis / sebagai penguasa perkara yang seharusnya menguasai tindakan yang dilakukan para terdakwa.
Tegakan Kebebasan Berpendapat
Reformasi sudah berlalu dan pengaturan konstitusi Indonesia sudah mencakup kebebasan berpendapat seseorang yang dijamin dalam Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu menjadi sebuah monumentalis terhadap kebebasan berpendapat. Seseorang mengeluarkan suatu ucapan, kata, maupun pendapatnya baik melalui komedi, musik, maupun media yang bisa digunakan sebagai media kritik adalah suatu pikiran di lontarakan terhadap fenomena yang terjadi. Maka hak untuk berpendapat tidak dihalangi dengan apapun, merupakan hak mutlak, dan pada dasarnya masyarakat adalah manusia yang bebas , dan merdeka tanpa mengganggu kertertiban umum, kenyamanan orang lain. Pelawak/komika yaitu Gusti Bintang atau Bintang Emon membuat video yang berdurasi sekitar 1 menit lebih itu. Miris dengan kasus novel, mengkritik ke bagian tidak sengaja, niat menyiram pagi-pagi buta sampai tuntutan 1 tahun.

Video itu beredar di media sosial seperti Youtube, Instagram, dan Twitter sampai menjadi Trending Tweet terbanyak dan banyak dishare oleh berbagai kalangan. Munculnya Kontroversial mengakibatkan pertarungan komentar dan statement di ruang publik melalui media sosial dan mirisnya dituduh melakukan pidana yaitu mengonsumsi Narkoba/obat-obat terlarang.
Pelawak juga Pengkritik.
Pelawak juga pengkritik melalui ucapan kritisnya maupun dengan cara dibuat satire/ dibuat kaya komedi. Sebagai contoh pelawak yang pernah mengritik yaitu Wahyu Sardono disebut Dono. Dia adalah salah satu pelawak dari grup Warkop DKI. Dibalik kelucuan yang dia bawa dari grup lawak ini, ternyata ada bagian yang mengkritik pemerintah Orde baru seperti Film Setan Kredit (1981).

Film itu menggambarkan bahwa dalam isu politik saat itu menyindir mafia berduit, pengusaha, dan juga pemerintah dan saat itu membuat media televisi yang sulit dipercayai oleh masyarakat entah ada politik redaksi atau mengaburkan fakta.
Lagipula, Dono juga mahasiswa kritis sejak 1975 saat kuliah di Universitas Indonesia Fakultas Sosiologi, pernah mengikuti gerakan reformasi 1998 yang muak terhdap pemerintahan Orde Baru yang berdiri selama 32 Tahun sebagai pemerintahan yang kaku dan otoriter.
Yang terjadi seperti Bintang Emon, adalah isu yang dibuat secara komedi dan dia juga mengatakan bahwa kata-kata itu karena banyaknya kegelisahan masyarakat akan kasus penyiraman kasus Novel Baswedan. Sungguh kebebasan berpendapat dibantai dengan tuduhan narkoba (hoaks) ditambah dengan ujaran kebencian. Kebebasan yang dilindungi Konstitusi jadi buyar karena kepentingan gelap tertentu. Pelawak atau Komika yang lainnya tergerak untuk menyeruakan pendapatnya juga melalui media sosial atas tuduhan yang dilontarakan kepada Bintang Emon.
Tuduhan brutal ini akhirnya dipatahkan dengan membuktikan bahwa komika ini menjalani tes urine sebagai bukti Bintang Emon tidak mengonsumsi obat-obatan terlarang. Tuduhan-tuduhan itu juga dilakukan oleh akun-akun palsu/ account fake, yang berita atau informasi disampaikan adalah hoaks.
Hoaks, Ujaran Kebencian, Akun Palsu?
Hoaks sering terjadi di kalangan publik apalagi mengenai seseorang. Jadi apakah bisa hoaks bisa dikaitkan dengan ujaran kebencian? Kalau hoaks itu membicarakan tentang seseorang atau kelompok maka bisa dikatakan juga sebagai ujaran kebencian. Disini Bintang Emon merupakan pihak yang dirugikan.

Dari segi Hukum, bahwa delik ini merupakan delik aduan yang bisa diadukan ke pihak kepolisian, karena hal seperti ini ada pihak yang dirugikan dan dampaknya terasa langsung ke korban. Pengaturan hoaks sudah diatur di Pasal 27 Ayat 3 dan terdapat sanksi di Pasal 45 Ayat 3, UU No.11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Undang-Undang Transaksi Elektronik Dan Informasi.
Hoaks itu banyak disebarkan oleh akun palsu menyatakan sebagai pembenaran atas suatu informasi yang disampaikan sehingga membuat orang menjadi kuatir dalam berpendapat, berkomunikasi di media sosial. Akun palsu yang memberikan ketidakbenaran informasi-informasi bisa dijerat dengan UU ITE dalam Persepktif Pidana sebagai pemberi nestapa/ derita bagi yang melanggar kententuan hukum. Pasal 35 UU ITE dengan ancaman penjara 12 tahun dan denda Rp.12.000.000.000,- ( dua belas miliar rupiah).
Profil Penulis:
Yoel Hatigoran G.S merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Semester IV, Universitas Lampung. Saat ini menjadi Anggota Kepengurusan Bidang Kajian 2020/2021. Penulis Pernah Mengikuti Lomba National Moot Court Competition/ NMCC Franseda 2020.