Omnibus Law Telah Sesuaikah dengan Teknik Pembentukan Perundang-Undangan di Indonesia ?

0
399

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwasanya Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari hal tersebut ialah segala tindak-tanduk yang dilakukan oleh Pemerintah harus didasari oleh hukum nasional. Hukum nasional adalah semua hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik berupa hukum tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan perundang-undangan adalah salah satu bentuk hukum tertulis yang ada. Peraturan perundang-undangan dan proses pembentukannya memerankan fungsi signifikan dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini dikarenakan, di Indonesia peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum, dan peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Selain itu, Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang sangat efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) karena kekuatan hukumnya yang mengikat dan memaksa. Peraturan perundang-undangan juga memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi daripada hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.

Pemerintah baru-baru ini mencoba melakukan pembaharuan hukum dalam hal metode pembentukan perundang-undangan yaitu dengan telah disusunnya Omnibus Law yang terepresentasi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cipta Kerja). Hal tersebut terungkap sebagaimana dilansir oleh kompas.com, saat Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya tanggal 20 Oktober 2019 mengucapkan konsep perundang-undangan omnibus law yang bakal menyederhanakan kendala regulasi yang panjang dan berbelit. Adapun konsep omnibus law ini akan direalisasikan melalui dua rancangan undang-undang yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Pemberdayaan UMKM. Omnibus law sendiri akan diprakarsai oleh pemerintah, hal ini tentunya dibenarkan dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Konsep omnibus law sering digunakan oleh negara penganut sistem common law. Omnibus law sendiri ialah konsep perundang-undangan, dimana satu undang-undang dapat merevisi beberapa undang-undang sekaligus.

Berbicara mengenai teknik pembentukan perundang-undangan, maka harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 atau yang selanjutnya disebut dengan UU P3. Dalam UU P3 beserta lampirannya sudah diuraikan bagaimana teknik pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karenanya Penulis merasa perlu untuk mengaitkan metode omnibus law tersebut dengan UU P3. Bila omnibus law merupakan konsep satu undang-undang merevisi sejumlah perundang-undangan, maka hal ini berkaitan dengan perubahan perundang-undangan yang teknisnya juga diatur dalam lampiran UU P3. Pasal 64 Ayat (1) dan (2) UU P3 mengatur bahwasanya “Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan”, dan “Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tercantum dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.” Sehingganya dalam membentuk peraturan perundang-undangan, pembentuk undang-undang harus mengacu kepada UU P3 beserta lampirannya sebagai suatu pijakan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Perlu diketahui pula bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat diubah dengan peraturan perundang-undangan yang sejajar atau yang lebih tinggi. Teknik perubahan undang-undang diatur dalam lampiran II UU P3 Nomor 230 – 238. Bila memperhatikan mekanisme perubahan perundang-undangan dalam lampiran II tersebut maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya :

  1. Lampiran II UU P3 Nomor 230 menyatakan “Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan :
    a.  Menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-undangan ; atau
    b.  Menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-undangan.”
  2. Lampiran II UU P3 Nomor 231 menyatakan “Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap :
    a.  Seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat ; atau
    b.  Kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.”
  3. Lampiran II UU P3 Nomor 233 menyatakan “Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut :
    a.  Pasal I memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan  menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan diantara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu , setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
    b.  Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah.”
  4. Lampiran II UU P3 Nomor 237 menyatakan “Jika suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan :
    a.  Sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah ;
    b.  Materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen) ;
    c.  Esensinya berubah,
    Peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.”

Bila melihat beberapa hal yang berkenaan dengan teknik perubahan perundang-undangan diatas, maka menurut hemat penulis tidak terdapat mekanisme perubahan beberapa undang-undang dengan satu undang-undang sebagaimana metode omnibus law. Sebab dalam UU P3 hanya dimungkinkan satu undang-undang merubah satu undang-undang lainnya, dan tidak mengenal mekanisme satu undang-undang merevisi sejumlah perundang-undangan. Hal tersebut penulis dasari pula dari ketentuan nomor 233 lampiran II UU P3 sebagaimana tersebut pada poin nomor 3 diatas, tentang batang tubuh Peraturan Perundang-undangan Perubahan yang hanya memuat dua pasal yaitu pasal tentang materi yang diubah dan saat mulai berlaku. Dalam RUU Cipta Kerja sebagai undang-undang pertama yang dibentuk dengan konsep omnibus law, kita melihat bahwa batang tubuhnya tidak sesuai dengan ketentuan dalam lampiran II UU P3 tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 18 RUU Cipta Lapangan Kerja yang mengatur perubahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang sistematis pasalnya sebagai berikut :

Pasal 18

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) diubah :

  1. Ketentuan Pasal 1 angka 23, angka 24, angka 29, dan angka 30 dihapus, dan angka 32 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

Dst…

Bila melihat redaksi pada pasal tersebut, maka bila mengacu kepada teknik perubahan perundang-undangan dalam lampiran II seharusnya Pasal tersebut ditempatkan dalam Pasal I, kemudian dimuat pula ketentuan Pasal II setelahnya yang mengatur tentang saat mulai berlaku. Sedangkan pada ketentuan setelahnya yaitu Pasal 19 RUU Cipta Lapangan Kerja justru memuat perubahan undang-undang lainnya yaitu Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Dari hal tersebut diketahui terdapat ketidaksesuaian antara konsep omnibus law dalam RUU Cipta Lapangan Kerja dengan teknik perubahan undang-undang dalam UU P3. Hal lain yang perlu diperhatikan dari metode omnibus law ini sendiri adalah munculnya kekhawatiran hilangnya esensi dari suatu pasal dalam perundang-undangan. Setiap perundang-undangan dibentuk memiliki latar belakang dan tujuan yang berbeda-beda baik dari segi filosofis, sosiologis, maupun yuridis, dan hal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam materi muatannya yaitu pasal-pasal yang terdapat didalamnya. Sehingga ketika sejumlah perundang-undangan diubah dengan satu undang-undang, maka dikhawatirkan esensi dari undang-undang tersebut akan berubah baik dari sasaran maupun tujuannya.

Kesimpulannya menurut hemat penulis teknik ataupun metode omnibus law yang dicanangkan dan bahkan sudah direalisasikan oleh pemerintah ataupun pembentuk undang-undang tidaklah dikenal dalam Teknik Pembentukan Perundang-undangan dalam UU P3 sebagaimana uraian penulis diatas. Akan tetapi, penulis menyadari bahwa banyak dampak positif yang timbul dari omnibus law diantaranya efisiensi pembentukan perundang-undangan. Sehingga penulis menyarankan, agar terdapat legitimasi hukum dan harmonisasi perundang-undangan, maka sebaiknya UU P3 direvisi dengan menambahkan teknik pembentukan perundang-undangan dengan metode omnibus law baik dalam batang tubuhnya maupun dalam lampirannya.

 

M Giatama Sarpta adalah mahasiswa semerter IV Fakultas Hukum Universitas Lampung. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Bidang Kajian UKMF-PSBH 20/21 dan telah meraih Juara III pada Constitutional Moot Court Competition 2019.

Tinggalkan Balasan