Melangkah Setelah Putusan DKPP

0
422

Oleh : Muhammad Habibi – Pegiat Anti Korupsi dan Ketua Umum UKM-F PSBH FH Unila 2018

Terungkap sudah kasus jual-beli jabatan yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung, Esti Nur Fathonah. Pasalnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan Esti Nur Fathonah terbukti terlibat jual beli jabatan komisioner KPU di Lampung periode 2019-2024 sebagaimana dilansir harian Lampost (13/2/20). Berdasar pada Putusan DKPP Nomor 329-PKE-DKPP/XII/2019 atas nama pemohon Budiyono, Esti Nur Fathonah resmi diberhentikan dari jabatannya karena melanggar nilai-nilai kode etik penyelenggara pemilu.

Patutnya kita mengapresiasi keberanian Budiyono selaku mantan anggota tim seleksi KPU Provinsi Lampung melaporkan perkara ini kepada DKPP. Keberanian akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung yang sekaligus pembimbing skripsi penulis saat masih menjadi mahasiswa melaporkan adanya perbuatan tidak terpuji ini, menggambarkan rentannya pejabat di instansi publik memanfaatkan jabatan yang dimilikinya guna kepentingan pribadi semata. Bersama YLBHI LBH Bandar Lampung, Budiyono berhasil membuktikan adanya permainan kotor dalam proses seleksi pemilihan pejabat publik. Lantas dengan terbuktinya secara etik Esti Nur Fathonah terlibat dalam proses jual beli jabatan menandakan adanya dugaan korupsi dalam perkara tersebut?

Esti Nur Fathonah (Tengah)
Foto diambil dari FajarSumatera

Dugaan Korupsi

Semua tergantung kepada langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Lampung, Kepolisian Daerah Lampung atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna melakukan penyeledikan perkara ini. Kita tentu tidak bisa berspekulatif ada atau tidaknya unsur korupsi dalam perkara tersebut. Namun, dengan adanya Putusan DKPP Nomor 329-PKE-DKPP/XII/2019 menyatakan permohonan pengadu dikabulkan untuk keseluruhan. Dalam permohonan, pengadu yang dalam hal ini adalah Budiyono, meminta kepada DKPP untuk memutus Esti Nur Fathonah melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.

Majelis DKPP menilai bahwa Esti Nur Fathonah terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Pertimbangan tersebut dilihat dari majelis memandang pertemuan yang dilakukan antara Esti Nur Fathonah dan Lilis Pujiati (calon anggota KPU Pesawaran) dengan Gentur yang merupakan suami dari Viza Yulisanti Putri (calon anggota KPU Tulang Bawang) di salah satu hotel Bandar Lampung membicarakan permintaan uang guna memastikan pencalonan Viza Yulisanti Putri yang diurus Esti dan Lilis. Terkait dugaan suap, majelis menyatakan ada penerimaan uang sebesar seratus juta rupiah oleh Lilis Pujiati untuk memuluskan langkah Viza Yulisanti Putri menjadi anggota KPU Tulang Bawang.

Putusan DKPP tersebut dapat menjadi alat bukti untuk mengungkap adanya dugaan korupsi jual beli jabatan komisioner KPU. Dalam ketentuan Pasal 5 huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”. Sedangkan Pasal 11 Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi disebutkan pula “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan  hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.

Unsur delik dalam rumusan pasal tersebut dapat menjadi dasar dilakukannya penyelidikan bahkan penyidikan oleh penegak hukum. Merujuk pada fakta dalam persidangan DKPP, patutnya penegak hukum dapat menyelidiki apakah Esti Nur Fathonah juga menerima sejumlah uang yang diberikan Gentur dalam pertemuan di salah satu hotel Bandar Lampung tersebut. Selain itu, baiknya penegak hukum harus mengusut keterangan Lilis Pujiati memiliki jaringan relasi dengan sebutan “Suhu” di Jakarta yang juga menjadikan Esti Nur Fathonah sebagai Komisioner KPU Lampung.

Langkah KPU di Lampung

Ihwal jual beli jabatan yang melibatkan Esti Nur Fathonah selaku Komisioner KPU Lampung ini berakibat tercorengnya nama baik kelembagaan penyelenggara pemilu. Diskursus pesiapan KPU sebagai penyelenggara pemilu (dalam hal ini pilkada di Lampung) menghadapi pilkada serentak di delapan kabupaten/kota Provinsi Lampung patut dipertanyakan. Bagaimana tidak, saat menjabat saja komisioner terbukti melakukan pelanggaran kode etik bagaimana publik akan percaya penyelenggaraan pilkada serentak di Lampung tahun ini akan berjalan sesuai dengan visi KPU Lampung menjadi penyelenggara pemilu yang mandiri, professional, berintegritas untuk terwujudnya pemilu yang luber dan jurdil?

Baiknya KPU di delapan kabupaten/kota di Lampung segera melakukan pembenahan diri sebelum melaksanakan tugasnya di tahun ini. Melalui evaluasi kinerja tahunan bersama masyarakat tentunya, sangat diharapkan. Seperti kata pepatah “Lebih baik mencegah daripada mengobati” rasanya pantas disematkan kepada KPU pasca terbuktinya keterlibatan Esti Nur Fathonah selaku komisioner KPU dalam jual beli jabatan kursi KPU di Lampung.

Namun, mari kita melangkah jauh lebih kedepan. Secara global yang saat ini menjadi pertanyaan; apa yang sudah dilakukan KPU di Lampung menghadapi pilkada serentak 2020? Apakah telah dilakukan survey berapa jumlah pemilih tetap dan tidak tetap, berapa banyak jumlah masyarakat yang telah sadar berdemokrasi dan paham akan bahayanya politik uang, sudah berapa lokasi kah yang dikunjungi KPU untuk mensosialisasikan pentingnya masyarakat berpartisipasi dalam pemilihan, bagaimana prediksi jumlah golput yang muncul pasca pemilihan dilakasanakan?

Mengapa pertanyaan demikian begitu penting, terutama bagaimana cara KPU mencegah terjadinya transaksi politik uang sebelum pemilihan berlangsung? Berdasarkan pengalaman penulis melakukan pemantauan persidangan tindak pidana korupsi yang dilakukan mantan kepala daerah di Lampung, politik uang itu adalah pangkal terjadinya korupsi. Praktik politik uang bukanlah unsur dari tindak pidana korupsi, tetapi politik uang merupakan salah satu sumber terjadinya praktik korupsi di lingkungan pemerintahan daerah, terutama menyangkut suap- meyuap dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Lalu apa langkah hukum yang dilakukan KPU jika praktik politik uang terjadi sebelum pemilihan dilaksanakan? Apakah jika ada pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang dibatalkan menjadi pemenang, atau perkara tersebut hanya di lempar saja ke Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga berujung pada Putusan Tidak Dapat Diterima? MK tidak berwenang memutus perkara politik uang. Jika dibawa ke sidang Bawaslu, apa akibat hukum dari adanya putusan Bawaslu teresebut? Sedangkan putusannya saja tidak mengikat  sama sekali.

Kami sebagai masyarakat berharap perbuatan serupa Esti Nur Fathonah tidak terjadi lagi di tubuh KPU Lampung dan pertanyaan-pertanyaan demikian hendaknya dirisaukan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu yang Mandiri, Profesional dan Berintergritas guna mewujudkan pemilu yang Luber dan Jurdil.

 

Profil Penulis:

Muhammad Habibi merupakan Pegiat Anti Korupsi. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Umum UKM-F PSBH periode tahun 2018 dan juga demisioner President dari HKPSI (Himpunan Komunitas Peradilan Semu Indonesia). Saat ini ia sedang menjabat sebagai Ketua Harian Puskamsikham (Pusat Kajian Masyarakat Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia).

Tinggalkan Balasan