Oleh Zahra Hanafi dan Fizal Septiawan
Baru-baru ini dunia internasional dihebohkan dengan adanya penembakan di Masjid Al Noor Kota Christchurch, Selandia Baru. Seorang laki-laki dengan teganya membunuh orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah di Masjid tersebut. Lebih parahnya lagi ketika melakukan aksinya, sipelaku sambil melakukan siaran langsung di sosial media. Dunia internasional menyebut tindakan pelaku tersebut sebagai tindakan terorisme.
Lalu sebenarnya apakah yang dimaksud dengan Terorisme itu sendiri? Bagaimanakah pengaturannya dalam hukum internasional dan hukum positif di Indonesia?
Di Indonesia diatur juga mengenai terorisme loh! Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6 dan pasal 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika;
1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Telah kita ketahui bahwa Brenton Tarrant telah merencanakan tindakan tersebut selama dua tahun lalu dan dengan sengaja menyebabkan kematian bagi umat muslim yang sedang menjalankan ibadah Sholat Jumat di masjid Al Noor dan masjid lain di Linwood Avenue. Ia telah memutuskan melakukan tindakan tersebut di Christchurch tiga bulan lalu. Konvensi internasional memberikan penjelasan tentang tindak pidana terorisme masuk dalam salah satu jenis tindak pidana internasional yang memiliki aspek internasional dan dapat disebut sebagai kejahatan terhadap masyarakat internasional (delicia juris Gentium). Hal ini sejalan dengan ditetapkannya tindak pidana teroris dalam convention for the prevention and punishment of terrorism di Genewa, 1937, International convention for the supresión of terrorism Bombing 1998 dan Internasional covention for the supresión of the financing of terrorism, 1999 sebagai kejahatan transnasional (transnational crimes).
Brenton dalam melakukan aksinya tersebut mengklaim melakukan aksinya mewakili jutaan orang Eropa dan bangsa-bangsa etnonasionalis lainnya. Brenton menggambarkan serangan itu sebagai tindakan balas dendam pada penjajahan atas ratusan ribu kematian yang disebabkan oleh penjajah asing di tanah eropa sepanjang sejarah. Setelah ia melakukan hal tersebut, ia mengatakan bahwa ia berharap bisa membunuh lebih banyak penjajah dan pengkhianat lainnya. Dalam hukum humaniter internasional (HHI) melarang segala bentuk tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan terorisme yang dapat menimbulkan bahaya, ancaman dan gangguan terhadap masyarakat. Baik itu dilakukan dalam konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional. Semua tindakan negara tidak diperkenankan dilakukan berdasarkan pertimbangan- pertimbangan diskriminatif, baik secara politik maupun berdasarkan diskriminasi ras dan agama.
Hal tersebut diatur didalam Protokol tambahan dari Konvensi Jenewa pasal 51(2) dan Protokol II pasal 13(2) dimana secara lebih spesifik melarang serangan pada masyarakat, ancaman, atau kekerasan dimana tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan teror didalam populasi masyarakat. Selanjutnya Protokol I juga pada pasal 51(4) dan (5) melarang serangan yang tanpa pandang bulu.
Intinya, hokum humaniter internasional bertujuan untuk memberikan perlindungan yang berlaku bukan hanya untuk negara tapi juga lawan dari negara yang dalam hal ini adalah
sebuah kelompok teroris.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Protokol tambahan II 1977 konvensi jenewa tentang perlindungan konflik bersenjata non- internasional
Protokol tambahan I 1977 konvensi jenewa tentang perlindungan korban konflik bersenjata internasional
Yowanda, penggunaan kekuatan bersenjata terhadap teroris ditinjau dari perspektif hukum humaniter internasional, Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013, hal 28
Profil Penulis : Zahra Hanafi dan Fizal Setiawan
Anggota Bidang Kajian PSBH Tahun 2019