Gambar diambil dari: gramedia.com

Oleh: Erviana

Suatu perjanjian harus dibuat atas dasar konsensus yang berasal dari kebebasan berkehendak dari para pihak yang melakukan suatu perjanjian. Bentuk konsensus dari kebebasan berkehendak para pihak tercermin dalam asas yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Perlu diketahui bahwa perjanjian atau kontrak yang dibuat secara lisan maupun tertulis dapat melahirkan hubungan hukum yang mengikat. Suatu perjanjian dikatakan bersifat mengikat apabila perjanjian tersebut telah disepakati, hal ini dikarenakan suatu perjanjian yang sah menjadi hukum atau undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya. Dengan demikian para pihak yang telah menyatakan diri terikat pada perjanjian yang telah disepakati, memiliki kewajiban untuk menaati pelaksanaan perjanjian.

Dalam perpanjian asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang memiliki kedudukan sentral, karena asas ini memiliki pengaruh besar terhadap hubungan kontraktual para pihak. Pada dasarnya, Kebebasan berkontrak diartikan sebagai perwujudan dari kehendak bebas dan merupakan cerminan hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang merefleksikan kebebasan individu.

Dalam konsep ini, asas kebebeasan berkontrak bukanlah kebebasan yang bersifat mutlak bagi para pihak. Kebebasan berkontrak memerlukan pembatasan, hal ini dikarenakan dalam kontrak atau perjanjian, seringkali kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian sering kali tidak seimbang, sehingga dimungkinkan sekali pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar yang lemah dalam suatu perjanjian akan banyak dirugikan. Selain itu, dengan kedudukan antar pihak yang tidak setara juga berpotensi akan mengakibatkan pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi yang kuat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan peraturan hukum yang adil. Dalam perjanjian terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pembatasan kebebasan berkontrak, diantaranya:

  • Perkembangan ajaran itikad baik dimana itikad baik tidak hanya ada pada
    pelaksanaan perjanjian, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya perjanjian;
  • Maraknya penyalahgunaan keadaan atau posisi tawar yang tidak seimbang;
  • Berkembangnya lapangan ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang,   badan-badan hukum, perseroan-perseroan dan golongan-golongan masyarakat lain, seperti buruh dan tani;
  • Berkembangnya aliran dalam masyarakat yang menginginkan kesejahteraan sosial;
  • Keinginan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah.

Dengan asas kebebasan berkontrak, setiap subyek hukum memiliki kebebasan untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian. Adapun beberapa hal yang membatasi kebebasan berkontrak para pihak dalam membuat suatu perjanjian yaitu:
a. Subyek
b. Obyek
c. klausa perjanjian

Berkaitan dengan subyek perjanjian, pembatasan dalam KUH Perdata terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) yang mengatur bahwa perjanjian atau kontrak dikatakan tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Dengan kata lain, kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat atau tidaknya para pihak terhadap perjanjian. Dengan demikian cukup beralasan apabila dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.

Selain itu, dalam Pasal 1320 ayat (2) dinyatakan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat suatu perjanjian. Artinya, subjek hukum yang dikatakan tidak cakap hukum yaitu pihak yang tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatan hukumnya tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Berkaitan dengan kecakapan hukum, menurut Pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian.

Kemudian, kaitannya dengan obyek perjanjian, dalam Pasal 1320 ayat (3) ditentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian yang menimbulkan adanya prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang- kurangnya dapat ditentukan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, dimaksudkan untuk dapat menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Apabila prestasi kabur atau di nilai kurang jelas maka akan menyebabkan perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan, sehingga perjanjian yang telah dibuat dianggap tidak memiliki obyek perjanjian dan akibat hukumnya ialah perjanjian tersebut batal demi hukum.

perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum. Berkaitan dengan obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Artinya, dalam perjanjian yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi atau yang dapat dinilai saja.

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga tercermin dalam Pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan dengan sesuka hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian, melainkan harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan demi hukum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak yang ada dalam hukum perjanjian Indonesia tidaklah bersifat mutlak. Hal ini dikarenakan terdapat batasan tertentu yang mempengaruhi kebebasan berkontrak para pihak dalam membuat suatu perjanjian yang sah. Kemudian, kaitannya dengan ketidakadilan yang disebabkan oleh ketidaksetaraan posisi tawar pihak-pihak dalam kontrak, maka hukum harus berperan membatasi atau melemahkan asas kebebasan berkontrak.

 

 

Referensi:

  • Ni’matul Khoiriyah & Lukman Santoso. Batasan Kebebasan Berkontrak Dalam
    Kontrak Konvensional Dan Kontrak Syariah. Ahkam, Volume 5, Nomor 1,
    Juli 2017: 41-59.
  • Melisa Febriani. Studi Hukum Kritis: Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak
    Dalam Perjanjian Yang Posisi Para Pihaknya Tidak Seimbang. Mahasiswa
    Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
  • https://pn-bandaaceh.go.id/pembatasan-asas-freedom-of-contract-dalam- perjanjian-komersial/ diakses pada 5 Juli 2023 Pukul 12.11 WIB.

 

Profil Penulis:

Erviana merupakan Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung Semester VII yang saat ini menjadi bagian dari Pengurus Bidang Kajian 2023.

Tinggalkan Balasan