Oleh : Akbar Setiawijaya
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law biasanya ditujukan untuk menetapkan suatu kaidah atau norma untuk keberlakuan di lingkungan masyarakat agar diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Maka dari itu, hukum sejatinya merupakan bagian integral penting dari suatu kehidupan bersama masyarakat, sesuai dengan adagium hukum “ubi societas ibi ius” yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dalam sistem hukum civil law pembagian amtara hukum publik dan hukum perdata (privat) adalah hal yang sangat esensial atau penting. Pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa. Sedangkan dalam Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lainnya di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.
Negara sampai saat ini masih menganut kodifikasi atas hukum perdata yang dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang dibukukan dalam suatu kitab yang bernama “Burgerlijk Wetboek” yang sekarang dikenal dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam KUHPer terdiri atas empat buku yaitu:
- Buku I mengatur “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Keluarga.
- Buku II mengatur “Perihal Benda”, memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris.
- Buku III mengatur “Perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
- Buku IV mengatur “perihal pembuktian dan Lewat Waktu (Daluarsa)
Perikatan (vertebintenis) merupakan hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak satu (kreditur) berhak dari suatu prestasi, dan pihak lainnya (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu. Oleh karena itu, dalam setiap perikatan terdapat “hak” di satu pihak dan “kewajiban” di pihak yang lain.
Prof. Subekti S.H., berpandangan bahwa perikatan dapat dikatakan sebagai hubungan hukum antar dua orang atau dua pihak, yang mana berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak lain dan pihak yang lainnya wajib untuk memenuhi suatu tuntutan itu. Lanjutnya mengatakan bahwa pihak yang boleh menuntut sesuatu dapat dikatakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan diberi nama debitur atau si berutang.
Hubungan antara debitur dengan kreditur adalah hubungan hukum, ini berarrti bahwa hak si kreditur telah terjamin dalam suatu hukum (undang-undang). Hal ini dipertegas dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan pasal itu maka salah satu pihak tidak setuju tuntutan lawan secara sukarela maka kreditur dapat menuntut di pengadilan.
Hubungan di antara perikatan dan perjanjian adalah perikatan sebagai bagian dari suatu perjanjian, maka perjanjian memiliki arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat diantara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai hak atas pemenuhan prestasi sedangkan pihak lain mempunyai hak untuk memenuhi prestasi tersebut.
Dalam pendapat Prof. Subekti, S.H., tidak membedakan pengertian perjanjian dengan persetujuan yang dalam bahasa Belanda lebih dikenal dengan nama overeenkomst, menurut beliau, perjanjian dengan persetujuan memiliki kesamaan pengertian bahwa kedua belah pihak tersebut setuju melakukan sesuatu yang telah disepakati bersama, dengan itu penggunaannya bisa secara bebas menggunakan perjanjian, persetujuan, kesepakatan, ataupun kontrak di dalam penggambaran hukum yang mengikat para pihak untuk melaksanakannya.
Hukum Perjanjian di Indonesia sendiri menganut ketentuan dari Belanda yang dapat terlihat dalam Buku III KUH Perdata. Belanda mendasarkan Hukum Perjanjian kedalam 3 (tiga) prinsip, yaitu:
- Prinsip kewajiban para pihak, karena dalam hal ini perjanjian yang dibuat merupakan undang-undang yang berisi kewajiban-kewajiban bagi para pihak dan harus ditaati oleh pembuatnya yaitu para pihak dalam perjanjian.
- Prinsip kebebasan berkontrak, dalam hal ini para pihak bebas membuat perjanjian dengan siapa saja dan para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian, asalkan sesuai dengan undang-undang yang dipilih.
- Prinsip Konsensualisme, merupakan prinsip yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan sendiri ialah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak.
Syarat sahnya suatu perjajian atau kontrak sendiri diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu pokok persoalan tertentu;
- Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dalam praktiknya terdapat bermacam asas-asas perjanjian itu sendiri, seperti berikut:
- Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
- Asas Konsensualisme (concensualism)
- Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
- Asas Itikad Baik (good faith)
- Asas Persamaan Hukum
- Asas Kepribadian (personality)
- Asas Moral
- Asas Kepercayaan
- Asas Keseimbangan
- Asas Kekuatan Mengikat
- Asas Kepatutan
- Asas Kebiasaan
- Asas Perlindungan
Perikatan sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu perikatan yang lahir karena undang-undang seperti , kewajiban orang tua untuk memelihara anak, kewajiban dalam pekarangan berdampingan, kewajiban pemenuhan utang dalam hal dinyatakan pailit serta kewajiban ahli waris untuk melunasi segala kewajiban pewaris terhadap pihak lain. Selain itu juga terdapat perikatan yang lahir akibat perbuatann manusia yang dapat dibedakan antara perbuatan manusia yang tidak melanggar hukum dan perbuatan manusia yang melanggar hukum (onrechtmatige daad). Perikatan yang lahir dari perbuatan manusia yang tidak melanggar hukum berupa:
- pengurusan kepentingan orang lain (zaakwaarneming),
- pembayaran tak terutang, dan
- Perikatan Alami/Wajar (Natuurlijke Verbintennis).
Sedangkan Perikatan yang lahir karena adanya perbuatan manusia yang melanggar hukum, mewajibkan orang yang karena perbuatannya tersebut telah menimbulkan kerugian bagi orang lain untuk memberikan ganti rugi. Yang secara mendasar terjadi akibat tidak terpenuhinya prestasi dari suatu perikatan yang berbentuk “untuk tidak melakukan sesuatu”.
Di dalam buku ketiga BW yang mengatur mengenai perikatan. Suatu perikatan adalah hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan diantara dua pihak atau lebih, yang mana pihak satu berhak dari suatu prestasi, sedangkan pihak lain berkewajiban untuk berprestasi. Dalam Pasal 1233 BW ditegaskan bahwa perikatan ialah bersumber dari Perjanjian (kontrak) dan undang-undang. Perkembangan teknologi yang meningkat memiliki pengaruh terhadap aspek kehidupan manusia. Internet merupakan media elektronik terbesar yang dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai kegiatan seperti kegiatan ekonomi, atau lebih dikenal dengan istilah electronic commerce atau kegiatan e-commerce, dan melakukan perjanjian yang disebut dengan e-contract. Kontrak tidak dapat dilakukan secara konvensional seperti biasanya dalam kegiatan tersebut, melainkan dapat melalui media elektronik.
Sumber:
- Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata,”
- I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan
- Hukum Online, Hukum Perikatan: Pengertian, Sumber Hukum, Macam-macam dan Sebab Terhapusnya
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
- Nanda Amalia, Hukum Perikatan. ISBN-13: 978-1492379171
Profil Penulis

Akbar Setiawijaya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung semester III yang saat ini menjadi Anggota Tetap UKM-F PSBH.
Tinggalkan Balasan