
Oleh : Ni Luh Nita Sari
Kasus kekerasan dalam rumah tangga masih terus terjadi hingga saat ini. tak hanya anak dan perempuan, kekerasan juga terkadang dialami oleh para laki-laki. Dalam Undang-Undang ini, terhadap sejumlah pelaku KDRT. Dalam pasal 49 UU RI No.23 tahun 2004 terdapat 56 pasal dari 10 bab yang telah dirumuskan. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,dan penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1-2).
Secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun2004. Misi dari undang-undang ini adalah KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku dan melindungi korban akibat KDRT. Identifikasi aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan, pada pasal 2 UU PKPDRT disebutkan bahwa ruang lingkup rumah tangga meliputi, (a)suami, istri dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga, (c) orang-orang yang bekerja membantu dalam rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga. Dalam rangka memberikan layanan bagi perempuan korban KDRT diantaranya ada 8 pelayanan yaitu layanan konseling, supprot group,pendamping hukum, penyediaan rumah aman, terapi spikologi, pelayanan medis dan penguatan ekonomi serta peran aktif RS, UUPA, dan kejaksaan.
Pasal 5 sampai 9 menegaskan tentang larangan KDRT, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, atau bisa juga mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya atau penderitaan psikis pada seseorang. Kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban, seperti pada pasal 10 korban berhak mendapatkan perlindungan dari keluarga dan pihak terkait, serta pelayanan kebutuhan medis, penangan khusus, pendamping dan pelayanan bimbingan rohani.
Perlindungan sementara dapat diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara dan menyampaikan kepada korban tentang apa yang harus proses yang akan dilewati serta pelayan yang maksimal selama kasus berjalan (pasal 16-38), dan setelah masa tersebut selesai maka pemulihan korban juga menjadi poin penting untuk diperhatikan baik itu rohani maupun jasmani ( pasal 39-43). Untuk permasalahan ketentuan pidana dapat di lakukan sebagaimana tertera pasal 44 sampai 53.
Pasal 49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang: menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut . menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2). Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus, sebagai yang tercantum dalam UUD 1945 amandemen IV Pasal 28 huruf G ayat (1) yang menyatakan,”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaan serta berhak atas dasar rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat dan atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Perlakuan tidak manusiawi serta sewenang-wenang dari orang lain termasuk suami sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (selanjutnya disingkat UU No. 5 Tahun 1998). Sanksi pidana yang diterapkan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga meliputi penjara atau denda. Berdasarkan penjelasan undang-undang diatas dapat dianalisa setiap orang dilarang keras melakukan kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau kekerasan rumah tangga. Kesemuanya menjadi satu aturan hukum yang wajib dipatuhi, termasuk suami kepada istri, sehingga suami tidak diperbolehkan melakukan kekerasan dalam bentuk apapun kepada istrinya, dan dalam keadaan apapun. Dengan demikian Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tersebut bertujuan untuk menempatkan manusia sesuai dengan tempatnya yang tidak boleh disakiti oleh siapapun.
Daftar Referensi :
- Pasal 49 UU RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga
- Dewi Karya. Februari 2013.TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRI.DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, No. 17, Hal. 35-46.
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.
- Hukuman Terhadap Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam. Islamic Review.Jurnal Riset dan Kajian Keislaman.ISSN:2089-8142.
Profil Penulis:
Ni Luh Nita Sari merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung semester V yang saat ini menjadi bagian dari pengurus Bidang Kajian 2022.
Tinggalkan Balasan