Oleh: Monica Selviana

Perkembangan teknologi yang pesat memiliki banyak dampak baik dan buruk bagi kehidupan manusia. Globalisasi adalah salah satu alasan perkembangan teknologi yang cepat dan tidak terbatas. Perkembangan tersebut tidak hanya dimanfaatkan untuk hal-hal yang menunjang aktivitas positif dan bijak dan benar, akan tetapi kejahatan yang merugikan banyak orang. Misalnya kejahatan hacking atau peretasan terhadap media sosial baik lembaga maupun  pribadi. bersamaan dengan hal itu akhir-akhir ini seorang hacker bernama Bjorka sedang menjadi sorotan publik dan menjadi perbincangan di media sosial khususnya di twitter. hal ini terjadi dikarenakan hacker tersebut  mengklim bahwa ia  telah meretas sejumlah situs web dan dokumen milik pemerintah, diantaranya adalah data Kominfo, dalang pembunuhan Munir hingga data Presiden Republik Indonesia.

Mengetahui hal tersebut, maka Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bersiap untuk  menempuh langkah hukum untuk menyikapi klaim peretasan yang dilakukan oleh hacker terhadap data penting milik negara. Lalu, hukuman apa saja yang mungkin  dapat diimplementasikan kepada hacker Bjorka dalam kasus peretasan data dan dokumen penting milik negara?

Hacking atau peretasan yang dilakukan terhadap terhadap media sosial baik lembaga maupun milik pribadi akan berdampak pada kerugian materil dan imateril yang  dialami oleh korban. Tidak hanya di Indonesia, banyak sekali kasus peretasan yang dilakukan di negara lain dan juga peretasan  yang dilakukan sering pula dialami oleh situs Nasa, Microsoftdan Pentagon, yang tidak luput dari peretas untuk mengacaukan sistem informasi dan data Amerika Serikat.  Oleh karena itu, kejahatan hacking sudah menjadi pusat perhatian dunia internasional. Saat International Information Industry Congress (IIC) tahun 2000 di Kanada telah dirumuskan mengenai kewaspadaan perkembangan cyber crime yang dapat merusak sistem dan data teknologi negara dan perusahaan.

Tindakan peretasan tergolong ke dalam tindakan kejahatan baru dibanding tingkat kejahatan lainnya sehingga,. penegakan terhadap peretasan di Indonesia masih belum efektif meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang sebagai dasar aturannya.

Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun Undang-undanga quo belum bisa mengakomodir kejahatan peretasan yang sudah sering terjadi di Indonesia, hal ini dikarenakan kejahatan hacking tidak dibatasi oleh teritorial suatu negara, sehingga menunjukkan penyelarasan dibanding informasi, media, dan informatika berkembang tanpa dapat dibendung.

Gambar diambil dari: Megatrust

Kasus peretasan bertujuan untuk mengambil data-data tertentu yang dimiliki suatu objek yang dituju. Namun, ada juga peretasan yang bertujuan menghancurkan data atau sistem tertentu sehingga berdampak seperti kerusakan digital. Dalam peraturan juga disebutkan kasus kejahatan hacking terkait dengan pengambilan data atau sistem elektronik.

Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No. 19 tahun 2016 yang berbunyi :

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Kemudian, atas pelanggaran terhadap Pasal tersebut diancam dengan pidana dalam Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang ITE yang berbunyi:

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan secara tegas bahwa tindakan yang masuk ke dalam sistem elektronik milik orang lain yang bersifat pribadi dengan cara apapun merupakan tindakan terlarang. Undang-Undang ITE juga melakukan pemberatan penjatuhan pidana atas tindakan peretasan, yaitu sesuai dengan objek dan subjek tindakan peretasannya. Berdasarkan objek peretasannya diberatkan dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang ITE, yaitu pemberatan penjatuhan hukuman pidana apabila objek diretas adalah sistem elektronik yang dimiliki oleh pemerintah atau sistem yang dipergunakan untuk pelayanan publik.

Kemudian, juga diberatkan dalam Pasal 52 ayat (3) Undang-Undnag ITE, yang berbunyi:

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, jika objek ynag diretas oleh hacker adalah sistus web milik pemerintah yang berhubungan langsung dengan keamanan dan stabilitas negara seperti yang dilakukan Bjorka maka, hukumannya diperberat sesuai dengan ketetuan dalam pasal tersebut.

Lalu berdasarkan subjek peretasannya, diatur dalam Pasal 52 ayat (4) Undang-Undang ITE yang berbunyi:

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.”

Dasar Hukum :

  • Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2016
  • International Information Industry Congress (IIC) tahun 2000
  • Jurnal Media Neliti berjudul Hacker dalam Perspektif Hukum Indonesia
  • Hukum Online berjudul Hukuman Untuk Hacker

Profil Penulis:

Monica Selviana merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung semester III yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH.

 

Tinggalkan Balasan