
Oleh: Dani Berlan Ramadhan
Pertunangan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai bentuk pemberian pengumuman bahwa pasangan akan menikah, bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan dihadapan banyak orang) akan menjadi suami istri, mereka belum menikah. Istilah pertunangan ini sejatinya tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Istilah pertunangan atau peminangan dalam bahasa Arab dikenal dengan “khitbah” yang dapat diartikan seorang laki-laki yang mengajukan diri kepada wanita yang menarik hati laki-laki tersebut untuk menikah dengannya sebagai pasangan hidupnya kelak, pertunangan dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan adat di lingkungan setempat.
Definisi pertunangan juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI ) dalam Pasal 1 Bab 1 tentang Ketentuan Hukum, yakni sebagai kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Dalam pasal 11 KHI disebutkan bahwa peminangan dapat dilakukan secara langsung oleh pihak yang akan mencari jodoh (umumnya pihak laki-laki) atau dapat diwakilkan oleh perantara yang dapat dipercaya. Pertuangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih gadis maupun kepada janda yang sudah habis masa iddahnya ( Pasal 12 ayat (1) ) KHI.
Dalil yang menganjurkan untuk melakukan suatu pertunangan atau peminangan terdapat didalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 235.
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun

Maksud diadakannya suatu pertunangan adalah untuk mengenal lebih dekat calon pasangan sehingga keduanya saling memahami satu sama lain, dengan demikian kedua pasangan yang kelak akan mengikrarkan diri pada sebuah akad pernikahan memiliki kemantapan dengan harapan setelah berlangsungnya penikahan tersebut akan terhindar dari perceraian dan dapat melangsungkan hubungan rumah tangga yang harmonis.
Para ulama sepakat bahwa laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita, maka terlebih dahulu ia harus melihat wanita tersebut. Di antara dalilnya sebagaimana yang diceritakan oleh al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau hendak melamar seorang wanita. Kemudian Nabi SAW memberi saran kepadanya;
انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihat dulu calon istrimu, karena itu akan lebih bisa membuat kalian saling mencintai.” (Ahmad 18154, Turmudzi 1110 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Tidak ada hadits yang menerangkan secara terperinci tentang batasan mana saja yang boleh diperlihatkan. Kebanyakan para ahli fikih berpandangan bahwa seorang lelaki yang hendak mengkhitbah boleh melihat perempuan yang hendak ia khitbah sebatas wajah dan kedua telapak tangan saja. Karena dengan melihat dua bagian tersebut dapat diketahui apa yang diinginkan; kecantikan dan halus tidaknya kulitnya. Wajah menunjukkan akan cantik dan tidaknya si perempuan, karena wajah merupakan pusat dari segala kecantikan. Sedangkan kedua telapak tangan dapat menunjukkan akan halus dan tidaknya kulit tubuhnya.

Lalu bagaimana konsekuensi akibat pembatalan pertunangan menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam…?
Dari pengertian yang telah dijelaskan dimuka bahwa pertuangan adalah perbuatan bertunangan, yakni kesepakatan yang dinyatakan dihadapan orang banyak akan menjadi suami istri, mereka belum menikah, sehingga pertunangan tidak menimbulkan konsekuensi yuridis atau hak menuntut dimuka Hakim dan tidak memiliki akibat hukum apa-apa.
Menurut ketentuan Hukum Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut. Janji kawin juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut pergantian biaya, kerugian dan bunga.
Akan tetapi, menurut pasal 58 ayat (2) KUHPerdata, jika pemberitahuan kawin tersebut telah diikuti dengan suatu bentuk pengumuman, maka hal itu dapat menjadi dasar untuk menuntut pergantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh suatu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak lain; dalam pada itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan keuntungan.
Dengan demikian jelas bahwa pembatalan pertunangan atau janji kawin baru dapat dimintakan pergantian biaya kerugian ataupun bunga apabila telah diikuti oleh adanya pengumuman, yang menjadi dasar diajukanya tuntutan ganti kerugian.
Sementara menurut Hukum Islam, membatalkan pertunangan tidaklah berdampak apa-apa, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan pembatalan pertunangan, didalam syariat pun tidak memberikan denda ataupun hukuman tertentu bagi mereka yang membatalkan pertunangan. Pembatalan pertunangan dapat terjadi karena tidak sengaja (meninggalnya salah satu pihak) maupun disengaja karena tidak ada kecocokan diantara keduanya. Walaupun demikian dalam mebatalkan suatu peminangan atau pertunangan haruslah mengedepankan etika,adab,akhlak yang perlu dijaga.
Namun apabila pertunangan tersebut disertai dengan pemberian sejumlah materi baik berbentuk mahar atau hibah, jika diniatkan memberi mahar maka pihak yang membatalkan wajib mengembalikan mahar tersebut, apabila mahar tersebut rusak maka harus diganti dengan nilai yang sama atau setara. Sementara apabila materi yang diberikan diniatkan sebagai hibah (hadiah) maka tidak ada kewajiban untuk mengembalikannya.
Imam Hanfi, Hanbali dan Syafi’i memberikan pandangan bahwa laki-laki boleh dan berhak meminta pengembalian atas materi khitbah. Sementara menurut Imam Malik apabila yang memberikan materi khitbah adalah laki-laki maka dia berhak meminta pengembalian materi khitbah, namun apabila yang memberikan materi khitbah adalah perempuan dia tidak berhak meminta pengembalian materi khitbah tersebut.
Dasar Hukum :
- Al-Quran Surah Al-Baqarah Ayat 235
- Hadist riwayat Imam Ahmad 18154 dan Imam Turmudzi 1110
- Kompilasi Hukum Islam (KHI)
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Referensi :
- Arif Sugitanata, A. R. (2020). Konsep Pertunangan Dalam Perspektf Agama(Studi Komparatif Agama Islam Dan Kristen). ADHKI: Journal of Islamic Family Law.
- Desianti, N. (n.d.). Pembatalan Peminangan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Adat Aceh (Studi Kasus Di Kecamatan Pidie-Sigli, NAD).
- Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, diakses 23 Agustus Pukul 15.00 WIB
- https://www.hukumonline.com/klinik/a/wajibkah-mengembalikan-cincin-tunangan-jika-batal-menikah diakses 23 Agustus pukul 19.55 WIB
- Bincangsyariah.com, batasan wajah yang boleh dilihat saaat khitbah, diakses 23 Agustus 2022 pukul 20.16 WIB
Profil Penulis :

Dani Berlan Ramadhan merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung semester V yang saat ini menjadi Pengurus UKM-F PSBH.
Tinggalkan Balasan