Oleh:Khoirunnisa
Media massa Indonesia dalam satu bulan terakhir ini dihebohkan dengan kasus polisi tembak polisi, dimana yang menjadi tersangka utama dalam tindak pidana tersebut adalah seorang Perwira Kepolisian RI, Irjen Pol. Ferdy Sambo yang telah mengakibatkan Brigadir Joshua Hutabarat meninggal dunia. Pada kasus ini mulanya melibatkan beberapa orang ikut terseret dan sebelumnya telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus tersebut, diantaranya Bharada Richard Eliezer, Brigadir Rizki Rizal, serta Kuat Ma’ruf.
Irjen Pol. Ferdy Sambo dalam kasus ini telah membuat berita kebohongan tentang peristiwa yang telah terjadi di kediamannya. Irjen Pol. Ferdy Sambo sebelumnya telah berhasil membuat berbagai pihak merasa percaya tentang peristiwa penembakan Brigadir J, beliau menutup-nutupi peristiwa tersebut. Tak hanya membuat berita kebohongan, beliau juga telah menghilangkan barang bukti pada peristiwa tersebut. Akibat dari berita kebohongan yang beliau buat, banyak pihak ikut terperangkap dalam berita hoax tersebut. Komnas HAM mengatakan adanya indikasi kuat Obstruction of Justice dalam kasus tewasnya Brigadir J tersebut, setelah sebelumnya Komnas HAM melakukan peninjauan di lokasi penembakan kasus Brigadir J.

Lalu, Apa yang dimaksud Obstruction of Justice dalam perspektif hukum di Indonesia? Bagaimana jerat pidana pelaku Obstruction of Justice? Apa saja unsur-unsurnya? Simak ulasan lengkapnya!
Dalam perspektif hukum, Obstruction of Justice merupakan tindakan menghalang-halangi pada saat proses hukum suatu perkara sedang berjalan, tindakan tersebut termasuk tindak pidana. Obstruction of Justice diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan juga diatur pada Pasal 221 KUHP ayat 1 dan 2.
Tak hanya pada kasus tindak pidana biasa saja, pada kasus tindak pidana korupsi juga diatur sanksi apabila terbukti telah melakukan Obstruction of Justice yaitu pada Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Sedangkan, pada Pasal 221 KUHP dijelaskan bahwa:
- Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
- Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
- Barangsiapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
- Aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.
Dapat dikatakan bahwa suatu tindakan termasuk ke dalam tindakan Obstruction of Justice apabila memenuhi beberapa unsur, yaitu:
- Tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings).
- Pelaku mengetahui atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings).
- Pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang yang bertujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Apabila kita lihat kembali pada kasus tewasnya Brigadir J ini, Komnas HAM menemukan dugaan bahwa telah terjadinya Obstruction of Justice. Dimana salah satu buktinya yaitu adanya perusakan pada Tempat Kejadian Perkara (TKP), adanya kebohongan pada kronologis terjadinya peristiwa tewasnya Brigadir J, serta adanya keterangan para saksi yang tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya.
Dengan adanya konfirmasi temuan Komnas HAM tersebut, akhirnya Irjen Pol. Ferdy Sambo ditetapkan sebagai pelaku Obstruction of Justice pada kasus penembakan terhadap Brigadir J. Tentunya, kita semua mengharapkan bahwa pada setiap perkara apapun yang diusut melalui proses hukum dapat menemui titik terangnya masing-masing, terhindar dari adanya indikasi Obstruction of Justice yang dapat memperlambat jalannya proses hukum. Maka dari itu sangat penting untuk mengusut suatu kasus sampai tuntas agar proses penegakan hukum di Indonesia berintegritas dan akuntabel.
Semua orang berhak mendapatkan hak keadilannya. Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam! (Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapa pun).
Referensi:
- Mengenal Obstruction of Justice dalam Kasus Pembunuhan Brigadir J yang Menyeret Ferdy Sambo (sindonews.com)
- Unsur Apa Saja dalam Obstruction of Justice? – Nasional Tempo.co
- Pasal 221 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) (idnhukum.online)
- Komnas HAM: Irjen Ferdy Sambo Bertanggung Jawab Soal Obstruction of Justice | kumparan.com
Profil Penulis:

Khoirunnisa Merupakan Mahasiswi Fakultas Hukum Semester III Universitas Lampung yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH.
Tinggalkan Balasan