Oleh: Akbar Setiawijaya

Indonesia beberapa waktu belakangan sedang digemparkan oleh kasus tindak pidana pembunuhan yang terjadi di salah satu rumah dinas mantan petinggi dari Kepolisian Republik Indonesia yang menyebabkan meninggalnya Brigadir Joshua Hutabarat (J) yang saat ini telah ditetapkan empat tersangka, yaitu Irjen Pol. Ferdy Sambo (FS) yang diduga memerintah kepada Bharada Eliezer (E) untuk menembak Brigadir J, kemudian tersangka lain yaitu Brigadir Rizki Rizal (RR) yang membantu dan menyaksikan penembakan, serta Kuat Maruf (KM) yang membantu dan juga menyaksikan penembakan.

Sebelum ditetapkannya keempat tersangka tersebut kuasa hukum Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, Deolipa Yumara dan Muhammad Burhanuddin mengajukan permohonan resmi justice collaborator untuk kliennya dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat atau Brigadir J ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pada Senin, 8 Agustus 2022.

Gambar diambil dari: Media Suara Publik

Namun, sebenarnya apa yang dimaksud dengan justice collaborator?

Mengutip laman Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia atau LK2 FHUI, justice collaborator ialah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerja sama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Sebagai imbalannya, seorang justice collaborator akan mendapat pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi.

Jika dilihat dari sisi historis, justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Masukannya doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat menjadi salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminology justice collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).

Sampai sekarang sebenarnya belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai justice collaborator itu sendiri. Adapun pengaturan secara implisit dapat terlihat pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, justice collaborator merupakan salah satu pelaku dari tindak pidana yang mengakui kejahatannya. Tapi, bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan. Selain itu dasar hukum mengenai Justice collaborator sendiri telah diatur dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia antara lain: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 yang meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.

Hingga nantinya norma tentang justice collaborator tidak dilelekatkan dalam revisi KUHAP, maka sejatinya telah terjadi kendala prosedural formal. KUHAP sendiri merupakan norma hukum dalam pidana formil, yang pada hakikatnya meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice system. LPSK tidak diposisikan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Positioning LPSK berbeda sekali dengan KPK, lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan yang “berwibawa” di mata penegak hukum, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi, yaitu: “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.

Syarat untuk menjadi justice collaborator diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011:

  1. Justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana yang mengakui semua kejahatan yang dilakukannya. Tapi bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
  2. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan. Sehingga, penyidik dan atau penuntut umum bisa mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan atau mengembalikan aset-aset, hasil dari suatu tindak pidana.

Keuntungan seorang justice collaborator sendiri akan mendapat perlindungan untuk menjalankan perannya, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam Pasal 10 ayat 1 dan 2 berbunyi:

  1. ”Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
  2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukumtersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Dengan perannya sebagai justice collaborator, saksi pelaku akan diberikan penanganan secara khusus untuk proses pemerikasaan. Berdasarkan Pasal 10A dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban:

  • ”Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalamproses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
  • Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
    2. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
    3. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.”

 

Referensi:

  1. com, “Apa Itu Justice Collaborator Dan Syaratnya” https://nasional.tempo.co/read/1620781/apa-itu-justice-collaborator-dan-syaratnya
  2. com, “Justice Collaboratordan Perlindungan Hukumnya” https://business-law.binus.ac.id/2018/02/14/justice-collaborator-dan-perlindungan-hukumnya/
  3. Abdul Haris Sendawai, 2016, Jurnal Penetapan Status Justice Collaborator Bagi Tersangka Atau Terdakwa Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Vol 3, No 3.
  4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

 

Profil Penulis:

Akbar Setiawijaya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung semester III yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH.

 

Tinggalkan Balasan