Gambar diambil dari : Tempo.co

Kebijakan menetapkan suatu pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan yang merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan itu, penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat. Otoritas pajak menetapkan tindak pidana perpajakan korporasi yang dilakukan oleh PT Gemilang Sukses Garmindo (GSG) dengan modus pemalsuan faktur pajak. Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Erna Sulistyowati menyampaikan perusahaan yang bergerak di bidang garmen tersebut dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menggunakan Faktur Pajak TBTS (Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya) dan selanjutnya diajukan permohonan restitusi PPN.

Gambar diambil dari : Mahfudh.Web.id

Adapun syarat yang harus dipenuhi agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, yaitu:

  1. Adanya unsur tindak pidana yang dilakukan
  2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan
  3. Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab
  4. Tidak adanya alasan pemaaf.

PT GSG (Gemilang Sukses Garmindo) diduga melakukan indikasi fraud atas Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak yang dideteksi dari sistem pengawasan terintegrasi yang ada di Ditjen Pajak. Keberhasilan penyidik tindak pidana perpajakan korporasi ini merupakan yang pertama di Ditjen Pajak. Awalnya, penyidik Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Barat telah melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT GSG. Hasilnya, PT GSG patut diduga telah melanggar ketentuan dalam Pasal 39A huruf a dan/atau Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tindakan tersebut bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari hasil restitusi SPT Masa PPN. PT GSG pun dinyatakan sebagai tersangka korporasi dalam kasus tersebut. Lalu, hasil penyidikan dinyatakan sudah lengkap (P-21) oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Dalam putusan pengadilan terdapat perbuatan tindak pidana dibidang perpajakan, yaitu: Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A huruf a UU KUP yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun serta denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak”.

Dalam perkembangan yang ada bahkan pemegang saham juga dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap delik yang dilakukan oleh manajemen korporasi atau pun karyawan korporasi tersebut. Karyawan korporasi bertindak atas nama korporasi yang bersangkutan dalam lingkup hubungan kerja. Namun, hal ini tidak berarti bahwa korporasi itu dapat lepas tanggung jawab dengan berargumen bahwa perbuatan pidana itu di luar kuasa dari korporasi yang bersangkutan. Dampak dari kasus pidana pajak korporasi PT GSG (Gemilang Sukses Garmindo) yaitu menyebabkan kerugian negara sebesar 9 Milyar karena melakukan pemalsuan faktur pajak untuk mengajukan restitusi. Perbuatan ini menjadi salah satu Tindakan yang tidak mendukung program Pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.

 

Referensi :

Profil Penulis:

Ruth Jenifer Alfionita Br Manullang merupakan Mahasiswi Fakultas Hukum Semester IV Universitas Lampung yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH.

Tinggalkan Balasan