Gambar diambil dari : WordPress.com

Pelaku sudah dijatuhkan hukum mati tetapi masih ada saja kasus kriminal yang serupa. Lalu, Mengapa hukuman mati tetap diberlakukan? Menurut sejarah, awalnya hukuman mati hadir atas asas Lex Talionis, yang artinya hukuman untuk membalaskan perbuatan yang setimpal dengan apa yang diperbuat pelaku. Contohnya mata ganti mata. Seiring perkembangan zaman, hukuman mati diterapkan untuk kejahatan lainnya yang tak setimpal. Hal ini dikarenakan hukuman mati dianggap dapat memberi efek jera, memulihkan keseimbangan kehidupan yang terganggu akibat perbuatan pidana, dan mencegah potensi terjadinya kejahatan serupa.

Semakin kesini masyarakat yang mulai menyadari pentingnya perlindungan hak asasi manusia menentang hukuman tersebut. Sebab hukuman mati dianggap tidak manusiawi merendahkan martabat manusia, dan melanggar hak asasi manusia yang sifatnya mutlak yaitu hak untuk hidup. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menindaklanjuti hal tersebut dengan merekomendasikan negara-negara di dunia agar menghapus hukuman mati. Terdapat beberapa negara yang sudah menghapus hukuman mati seperti Portugal, Brazil dan Australia.

Namun masih banyak negara yang tetap mempertahankan hukuman mati, bahkan memperluas kategori cakupan tindak pidananya. Dan Indonesia termasuk dari salah satu diantaranya. Kasus-kasus di Indonesia yang pertanggungjawaban pidananya hukuman mati, diantaranya pembunuhan, korupsi, narkotika, pemerkosaan, terorisme dan lain sebagainya.

Gambar diambil dari : Hukumonline

Korban-korban yang masih hidup dari kasus kejahatan tersebut seperti korban pelecehan seksual, korban penyalahgunaan narkoba, korban tindak pidana korupsi, memerlukan penangan khusus berupa pemulihan dan perlindungan. Sebab mereka mengalami penderitaan baik secara jasmani maupun rohani akibat dari kejahatan yang mereka terima. Namun dalam sistem dan praktek peradilan pidana di Indonesia, biasanya korban kurang diperhatikan kepentingannya. Peradilan pidana di Indonesia lebih berfokus pada penetapan hukuman terhadap pelaku kejahatan.

Memang, penetapan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seringkali diharapkan oleh banyak pihak seperti korban, kerabat korban dan masyarakat maupun penegak hukum. Menurut penulis vonis hukuman mati hanya sebagai bentuk pembalasan dendam terhadap pelaku dan alih-alih akan memberikan korban rasa aman serta menunjukan bahwa negara seakan-akan serius bertekad untuk memberantas kejahatan tetapi sebenarnya tidak menyelesaikan persoalan.

Berdasarkan data dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) per 29 November 2021, terpidana mati yang menunggu dieksekusi berjumlah 404 orang. Mayoritas diantaranya merupakan kasus kejahatan narkotika. Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata pengguna narkoba di Indonesia pada tahun 2021 meningkat sebesar 0,15% sehingga menjadi 1,95% atau 3,66 juta jiwa. Fakta tersebut menunjukan bahwa kejahatan serupa tetap terjadi bahkan meningkat. Artinya vonis hukuman mati tidak efektif, sebab tidak mencegah terjadinya kejahatan yang serupa dan tidak memberi efek jera.

Hukuman mati juga menimbulkan masalah baru lainnya, seperti kapasitas penjara semakin overload, dan sementara korban terus kian meningkat. Jika persoalan ini tidak ditangani segera, maka akan timbul masalah besar yang dapat menjadi bumerang bagi negara. Masyarakat akan tidak mempercayai penegakan hukum yang dilakukan oleh negara karena tidak memberikan solusi mengurangi kejahatan dan memulihkan korban. Ini sama dengan menunjukkan kekejaman dan kemunduran negara.

Hukuman mati dianggap dapat menjadi cara cepat mengatasi masalah, tetapi sebenarnya tidaklah tepat. Seharusnya bilamana terjadinya kejahatan, negara bertanggung jawab memulihkan korban, menyadarkan dan memperbaiki pelaku kejahatan serta mencari akar penyebab terjadinya kejahatan tersebut dan menemukan solusi sehingga kejahatan tersebut tidak terjadi lagi. Jadi pemidanaan haruslah bersifat adil, berkemanusiaan, dan edukatif.

Jangan abaikan korban dan hanya berfokus pada pelaku kejahatan. Apalagi hukumannya kejam dan tak menurunkan tingkat kejahatan. Keadilan bagi korban bukan semata-mata soal pembalasan, tetapi pemulihan dan perlindungan. Diperlukan suatu gebrakan perubahan sebab setiap orang harus dimanusiakan, termasuk pelaku dan korban.

 

Referensi :

 

Profil Penulis :

Sylvia Lesmana Clara merupakan Mahasiswi Fakultas Hukum Semester II Universitas Lampung yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH.

Tinggalkan Balasan