Gambar diambil dari: dijualrumahtanahbali.com

Memiliki status kepemilikan tanah bagi setiap orang adalah penting. Hal ini dikarenakan tanah merupakan salah satu aset berhaga yang dapat dijadikan sebagai salah satu jenis investasi. Dengan demikian, adanya kelengkapan data seperti sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai bukti kepemilikan tanah menjadi hal yang diharuskan. Di Indonesia sendiri, sebenarnya telah diatur undang-undang terkait kepemilikan tanah untuk warga negara asing. Hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA).

Di dalam UUPA, warga negara asing (WNA) dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia dalam hal hak pakai sebagaimana termuat dalam Pasal 42 UUPA dan hak sewa untuk bangunan yang diatur pula dalam Pasal 45 UUPA. Berbeda dengan WNI yang memiliki hak milik atas tanah dan bangunan juga hak pakai dan hak sewa untuk bangunan. Dikatakan dalam Pasal 20 UUPA, hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Selanjutnya dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA, hak milik hanya dapat dimiliki oleh warga-negara Indonesia saja.

Lalu mengapa banyak WNA yang diakuinya mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia? Diketahui bahwa tidak sedikit WNA memiliki hak milik tanah di Indonesia. Salah satu contohnya di daerah Bali. Pada tahun 2019, Gubernur Bali, Wayan Koster, mengatakan bahwa pertanahan merupakan isu yang menjadi perhatian pemerintah provinsi, dikarenakan banyak modus nakal yang digunakan oleh WNA untuk dapat memiliki tanah di Bali. Beliau mengatakan bahwa beberapa warga asing memiliki vila atau tanah di Bali dengan menggunakan nama warga lokal. Vila tersebut digunakan untuk bisnis warga asing tersebut seperti sewa vila dan kepentingan wisata.

Menggunakan nama warga lokal sebagai pengganti nama dari warga asing sama saja seperti melakukan penukaran. Yaitu penukaran hak secara diam-diam dari hak milik tanah dengan nama warga lokal kepada warga asing. Dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA dikatakan bahwa:

“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerinntah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”

Dapat dilihat bahwa ketentuan pada Pasal 26 ayat (2) adalah akibat dari ketentuan dalam pasal 21 mengenai siapa yang tidak dapat memiliki tanah. Selebihnya, Tindakan pembelian tanah dengan mengatasnamakan warga lokal biasanya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian. Perjanian ini disebut dengan perjanjian Nominee, atau sering dikenal dengan istilah perjanjian pinjam nama. Hal ini dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk dari penyelundupan hukum, dimana sebagai bentuk tindakan untuk menyiasati aturan larangan kepemilikan hak tanah bagi WNA di Indonesia. Dalam hal ini, perjanjian ini adalah batal dan tanahnya jatuh kepada Negara, seperti yang dikemukakan pada Pasal 26 ayat (2) UUPA.

Gambar diambil dari: smartlegal.id

Alasan lain dari batalnya perjanjian ini adalah dikarenakan pasal tersebut tidak memenuhi unsur Pasal 1320 KUHPerdata, dimana syarat sah dari adanya perjanjian adalah adanya kesepakatan, kecakapan, suatu pokok persoalan tertentu, dan kausa yang halal. Dalam hal itu perjanjian ini tidak memenuhi syarat kausa yang halal. Selain itu, pada umumnya WNA untuk bisa mendapatkan hak milik, akan menggunakan cara seperti menikahi WNI yang setelahnya dilakukan percampuran harta antar kedua belah pihak. Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA dikatakan bahwa:

“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-warga Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara. Dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”

Berdasarkan makna pasal-pasal tersebut, dapat diartikan bahwa kedua cara itu adalah cara-cara yang dilarang, yaitu cara-cara memperoleh hak tanpa melakukan suatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak itu. Oleh karena itu, hak milik tanah yang telah dibeli oleh WNA dengan mengatasnamakan nama warga lokal atau tindakan lain seperti yang tertuang pada Pasal 21 ayat (3), akan mengakibatkan hapusnya hak milik orang tersebut. Seperti yang tercantum dalam ketentuan pada Pasal 27 UUPA. Sehingga dapat dikatakan bahwa sesuai dengan asas kebangsaan, hanya warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki hak milik atas tanah, dan hak milik tidak dapat dimiliki oleh orang asing serta pemindahan hak milik kepada orang asing adalah dilarang.

 

Referensi :

 

Profil Penulis:

Dewa Ayu Ayuning Sekarsari Artawidia merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung semester IV yang saat ini menjadi bagian dari Pengurus Bidang International Law 2022.

 

2 tanggapan untuk “Status Hukum Kepemilikan Tanah di Indonesia Oleh WNA”

Tinggalkan Balasan