Sumber terambil dari : medialampung.co.id

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Pembangunan keluarga adalah upaya guna mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Didalam keluarga tentunya setiap pasangan insan manusia dikaruniai anak. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sejalan dengan itu juga, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, hal tersebut merupakan pengertian terhadap anak sesuai dengan Pasal 1 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidupnya, untuk tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kekerasan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

 

Dewasa ini, kekerasan terhadap anak kian hari semakin bertambah. Hal ini memuculkan sebuah tantangan bagi kita setiap anggota didalam suatu keluarga untuk menyeberangi persoalan ini. Menurut data dari KPAI, dalam Klaster Pemenuhan Hak Anak (PHA) menerima sebanyak 2.971 kasus selama tahun 2021. Diurutkan dari yang paling tinggi

adalah klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif sebanyak 2.281 kasus (76,8%), klaster Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, Kegiatan Budaya, dan Agama sebanyak 412 kasus (13,9%), klaster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan sebanyak 197 kasus

(6.6%), dan kasus klaster Hak Sipil dan Kebebasan sebanyak 81 kasus (2.7%). Sedangkan kasus pada Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif memiliki jumlah kasus tertinggi sepanjang pengaduan KPAI dari tahun 2011. “Pandemi covid-19 sangat berdampak pada kondisi keluarga dan berefek domino pada pengasuhan anak. Kasus-kasus yang diadukan diantaranya Anak Korban Pelarangan Akses Bertemu Orang Tua (492). Anak Korban Pengasuhan Bermasalah/Konflik Orang Tua/Keluarga (423), Anak Korban Pemenuhan Hak Nafkah (408). Anak Korban Pengasuhan Bermasalah (398), dan Anak Korban Perebutan Hak Kuasa Asuh (306),” ujar Susanto. (Dikutip dari Surat Kabar Media Indonesia 25 Januari 2022)

 

Sumber terambil dari : stikku.ac.id

Keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk anak justru membuat menajadi salah satu tempat yang berpeluang sebagai kekerasan terhadap anak. “Menurut data KPAI, kasus pada klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif ini memiliki jumlah kasus yang tertinggi sepanjang pengaduan KPAI dari tahun 2011. Kita bisa melihat bahwa ternyata di lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif itu yang normalnya diharapkan adalah tempat yang paling aman bagi anak itu justru menempati sebagai klaster yang tertinggi sebagai kasus kekerasan kepada anak,” tutur Zendy. (Dikutip dari Artikel Peneliti HRLS Soroti Perkembangan Hukum Perlindungan Hak Anak di Indonesia, Dewi Yugi Arti, 2022).

Seharusnya keluarga menjadi lembaga utama untuk menjadikan tumbuh kembang anak yang aman dan sehat untuk jiwa maupun raganya. Padahal jika dilihat dari instrument hukum nasional maupun internasional, sudah banyak mengatur tentang perlindungan anak. Salah satu instrument hukum internasional yang mengatur tentang perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) Tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Selain instrument hukum internasional, hukum nasional juga mengatur tentang perlindungan anak pada UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak beserta perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 merupakan beberapa contoh instrumen hukum nasional tentang perlindungan anak di Indonesia.

Sudah banyak instrument hukum nasional yang mengatur tentang perlindungan anak. Namun mengapa masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak, dan jika diurutkan dari yang paling tinggi adalah klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Jika dilihat dari hukuman yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: “(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).” Kemudian diatur pula lebih lanjut pada Pasal 81 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak : “(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, orangorang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Maka disini terjadi adanya suatu concursus idealis dikarenakan apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi masuk dalam beberapa peraturan hukum pidana, sehingga orang tersebut dianggap melakukan beberapa tindak pidana. Hal itu di atur dalam Pasal 63 KUHP Ayat (1) sebagai berikut : “(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu; jika berbeda beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.” Maka demikian, jika yang melakukan kekerasan terhadap anak adalah orang yang masih mempunyai hubungan keluarga, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Hal tersebut dikarenakan, keluarga yang seharusnya melindungi anak ternyata malah melakukan kekerasan terhadap anak, hal tersebut tidak mencerminkan kewajiban keluarga untuk memberikan perlindungan terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Jika dalam Undang Undang sudah diatur sistem pemidanaannya yaitu untuk orang yang melakukan suatu tindak pidana atau kekerasan terhadap anak yang mana orang itu masih mempunyai hubungan keluarga, ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga), tetapi klaster kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga masih meningkat, hal ini berarti kembali lagi kepada setiap individu masing-masing. Setiap individu seyogianya harus menyadari akan tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga, karena bukan hanya negara saja yang memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, tetapi yang paling utama adalah peran penting keluarga yang merupakan lingkungan sekitar anak dan yang paling utama untuk guna mewujudkan perlindungan terhadap anak.

Referensi :

Profil Penulis :

Amanda Khoirunnisa Merupakan Mahasiswi Fakultas Hukum Semester II Universitas Lampung yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH

 

 

Satu tanggapan untuk “Keluarga Menjadi Salah Satu Klaster Tertinggi Kekerasan Terhadap Anak”

Tinggalkan Balasan