
Penerapan hukuman mati sebenarnya masih mengandung kontroversi di tengah masyarakat, karena hukuman mati memiliki keterkaitan erat dengan hak asasi manusia. Permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi atas pasal hukuman mati pernah dilakukan beberapa kali, dalam pengajuan uji materi ini kuasa hukum pemohon berargumentasi bahwa pasal pidana mati bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945. yang berbunyi : “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper-tahankan hidup dan kehidupannya”. Dasar hukum untuk menjamin hak untuk hidup di Indonesia juga terdapat dalam pasal 9 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi:
- Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
- Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
- Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam penjelasan pasal 9 UU HAM dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf hidupnya. Hak atas kehidupan ini juga bahkan melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Tetapi Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pidana mati yang diancamkan untuk kejahatan tertentu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pidana mati menurut MK, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena menurut MK, hal tersebut telah dibatasi oleh pasal yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
Jika merujuk pada kasus Herry Wirawan Pemerkosa 13 Santriwati, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menjatuhkan vonis hukuman mati pada Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan 13 santriwati, pada Senin, 4 April 2022. Penulis beranggapan bahwa tindakan pelaku sama sekali tidak layak dibela, tidak manusiawi, kejam, dan merendahkan martabat manusia. Pelaku layak dihukum seberat-beratnya. Namun haruslah diperhatikan pula, apakah vonis hukuman mati tersebut efektif atau tidak, karena sebagaimana kita ketahui bahwa hukuman mati itu melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Hal ini didukung pula dengan Pasal 69 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan:
- setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moraletika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
- setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dantanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
Hukuman mati dalam perspektif DUHAM adalah dilarang, Dalam pandangan HAM versi PBB, penerapan hukuman mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam/keji dan tidak manusiawi, melanggar Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights); dan Pasal 7 (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR). Berdasarkan kovenan tersebut sekalipun asasnya dilarang tetapi jika ada negara-negara yang masih memperlakukan/belum menghapuskan hukuman mati hanya terbatas diperlakukan kepada kejahatan/atau tindak pidana tertentu (khusus/serius) seperti kejahatan genosida atau terorisme (Pasal 6 ayat 2 International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR).
Selain melanggar HAM, hukuman mati kerap membuat negara melupakan perbaikan sistemik untuk mencegah kejahatan. Pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), misalnya, sudah bertahun-tahun dibahas di parlemen namun hingga kini belum juga disahkan, dan vonis mati yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera terhadap pelaku pemerkosaan, tetapi justru menghilangkan peran negara dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap ruang aman terhadap korban dari kekerasan seksual, dan komitmen negara terhadap isu kekerasan seksual terlihat berhenti karena adanya hukuman mati ini. Hal ini didukung oleh adanya database internal ICJR, tren vonis mati dalam kasus-kasus kekerasan seksual menunjukkan peningkatan (lihat tabel di bawah).

Hal ini juga membuktikan bahwa adanya ancaman pidana mati dalam aturan hukum tidak menghasilkan perubahan berarti perlindungan terhadap anak dan perempuan dari kekerasan seksual, malah jumlah kasus kekerasan seksual selama periode 2016-2021 justru meningkat setiap tahunnya. (Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Kerempuan). Tidak hanya itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa, Hukuman mati tidak membantu pemulihan korban, karena dalam kasus kekerasan seksual, fokus utama seharusnya bukanlah penghukuman pelaku, tetapi aspek perlindungan terhadap korban. Memang dalam kasus Herry Wirawan ini pelaku juga dikenakan kewajiban membayar restitusi sebesar lebih dari 300 juta rupiah. Tetapi perlu ditegaskan pula bahwa setiap korban kekerasan seksual umumnya akan mengalami kerugian secara fisik dan psikis juga. Dengan adanya vonis mati ini jangan sampai fokus utama hanya sekedar tentang pelaku, tetapi mengabaikan aspek perlindungan dan pemulihan korban itu sendiri.
Sumber dan Dasar Hukum :
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang HAM
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
- International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR
- Catatan Tahunan Komnas Kerempuan
Profil Penulis:

Monica Selviana merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung semester II yang saat ini menjadi anggota muda UKM-F PSBH.
Tinggalkan Balasan