Menyoal Efektivitas Penerapan Outsourcing di Indonesia

0
133

Persaingan yang terjadi di dunia usaha saat ini memaksa para pengusaha untuk berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan maka akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas dan daya saing di pasaran.

Dewasa ini pada iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (production cost). Salah satu upayanya adalah dengan melakukan sistem alih daya (outsourcing) yaitu penyerahan sebagian pelaksana pekerjaan yang sifatnya sebagai penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerja atau penyedia jasa pekerja/buruh. Dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.

Tujuan utama penerapan outsourcing adalah meraih keuntungan lebih besar dengan mengurangi  tanggung  jawab  pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan pekerjaan buruh yang bekerja pada perusahaan. Kemudian agar perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal internal perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak yang lebih professional.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dikatakan bahwa outsourcing di Indonesia hanya diperuntukkan untuk kegiatan atau pekerjaan penunjang (non coree business), dan bukan pada kegiatan atau pekerjaan utama (coree business). Di satu sisi, pemerintah mempunyai kewenangan dalam sisi publik untuk memberikan pengaturan pelaksanaan dan pengontrolan dalam pelaksanaan outsourcing sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi faktanya pemerintah belum mampu menciptakan sistem ketenagakerjaan outsourcing yang sehat. Akibatnya, tujuan hakiki yang dinginkan undang-undang masih jauh dari harapan. Di sisi sebaliknya, para pekerja yang menjadi korban sistem ketenagakerjaan outsourcing yang tidak sehat ini, menginginkan penghapusan sistem outsourcing karena sistem ini dinilai merupakan perbudakan modren (modern slavery) dalam proses produksi. Para pihak outsourcing yang terlibat dalam hubungan kerja outsourcing tidak hanya melibatkan pengusaha dan pekerja, melainkan melibatkan tiga pihak yaitu perusahaan penyedia jasa, perusahaan pemberi kerja, dan pekerja/buruh.

Perekrutan karyawan outsourcing dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa. Nantinya, pekerja/buruh bekerja untuk perusahaan melalui sistem kontrak yang dibagi menjadi dua, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Ada 3 unsur penting dalam outsourcing yaitu:

  1. Pemindahan fungsi pengawasan
  2. Pendegelasian tanggung jawab atau tugas suatu perusahaan
  3. Menitikberatkan pada hasil atau output yang ingin dicapai oleh perusahaan.

Seiring dengan perkembangan zaman, tujuan dari outsourcing tidak hanya membagi risiko ketenagakerjaan, akan tetapi menjadi lebih kompleks. Outsourcing telah menjadi alat manajemen, serta bukan hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk mendukung dan menjadi sasaran bisnis. Problematika mengenai outsourcing memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Pelaksanaan sistem outsourcing juga memberikan manfaat bagi pemerintah, masyarakat, pekerja, industri, dan perusahaan.

Permasalahan yang disorot dalam penerapan outsourcing saat ini adalah ketentuan pesangon baik untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun untuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), kemudian adanya diskriminasi antara karyawan outsourcing dengan karyawan yang langsung PKWT dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Dalam perkembangannya banyak pihak yang menolak pemberlakuan sistem outsourcing, karena sistem ini dianggap merugikan pekerja dan hanya menguntungkan perusahaan. Hal ini di ditunjukkan dengan realitas bahwa outsourcing lebih menguntungkan perusahaan, tetapi tidak dengan buruh yang selama ini lebih sering merasa dirugikan, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya perbudakan modern yang dimiliki individu serta tidak adanya jaminan pengembangan karir. Dalam keadaan seperti itu, pelaksanaan outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.

Pelaksanaan outsourcing banyak dilakukan untuk menekan biaya pekerja/buruh dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dibawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh. Kemudian kabar buruk datang dari disahkannya Undang-Undang No.11 Tahun 2020  tentang Cipta Kerja (omnibus law), beberapa pengaturan mengenai outsourcing dihapuskan. Dalam pengaturan sebelumnya pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor.19 Tahun 2012 diatur 5 bidang di luar pekerjaan utama yang dapat dioutsourcing yaitu jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, katering dan jasa minyak dan gas pertambangan. Pada UU Ciptakerja tidak lagi ada pengaturan mengenai ruang pembatasan pekerja outsourcing di industri. Selain itu, isu lainnya yang dihapus dalam UU Ciptakerja adalah soal tak ada batas waktu kerja sebagai outsourcing.

Dampak dari penghapusan pasal mengenai ruang pembatasan pekerja outsourcing ini di bidang ketenagakerjaan adalah membuka peluang bagi perusahaan pemberi kerja memperkerjakan buruh/pekerja untuk berbagai tugas termasuk pekerja lepas dan pekerja paruh waktu. Hal ini dapat menyebabkan penggunaan tenaga outsourcing semakin bebas yang membuat para buruh/pekerja sangat dirugikan ditambah lagi soal pesangon yang tidak besar.

Penerapan outsourcing di Indonesia memang dirasa tepat bagi perusahaan, namun jika ditinjau dari efektivitasnya, seharusnya pelaksanaan ini diawasi dengan hati-hati oleh pemerintah agar tidak menimbulkan keuntungan sepihak. Ketiga komponen penting dalam pelaksanaan outsourcing ini yaitu perusahaan penyedia pekerja, perusahaan pemberi kerja, dan pekerja/ buruh harus memiliki porsi keuntungan yang sama besar.

 

Referensi:

  • Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta: PT. Gramedia, 2004)
  • Fathoni, M. Yazid dan Wagian, Diangsa. Jurnalius, Outsourcing Batu Sandungan Dalam Kesejahteraan Buruh, Vol 2 No.4, 2014.
  • Tita,Heillen M.Y, Kajian Yuridis Tentang Problematika Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/UUP-IX/2011 (Studi pada PT. PLN (PERSERO) Wilayah Maluku dan Maluku Utara), Jurnal Sasi, Vol. 20, No.1, hlm.57.
  • Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  • Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 220/MEN2007 tentang Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain
  • https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4ffc094901da7/perlu-solusi-tepat-    atasi-persoalan-ioutsourcing-I diakses pada tanggal 12 Juli 2021 pukul 23.30 WIB.
  • Abdullah, Muhammad Bayu. 2016. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsourcing (alih daya) Dalam Perjanjian Kerja Antara PT. WIRATAMA JAYA PERKASA PADANG Dengan Tenaga Kerja”. Fakultas Hukum. Universitas Andalas.

Profil Penulis:

Rodrikson Alpian Medlimo, Anggota Tetap UKM-F PSBH dan juga merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Tinggalkan Balasan